Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (2)

Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (2)

Wali Kota Surabaya dua periode itu juga pernah mengunjungi rumah istri Bung Tomo di Jakarta. Bambang mengingatkan peristiwa itu dalam surat yang dikirimkan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya yang dibuat 18 Juni lalu.

“Keluarga kami, almarhum ibu kami, sewaktu beliau masih hidup sudah pernah mengingatkan hal tersebut ke ibu wali kota,” tulis pria kelahiran 22 April 1950 itu. Ibunya berharap bangunan yang roboh didirikan kembali dengan tidak menghilangkan status cagar budayanya.

Namun, Sulistina Soetomo meninggal tak lama setelah rumah radio itu dirobohkan. Kasus mencuat awal Mei 2016, sementara Sulistina kembali ke haribaan Sang Kuasa pada 31 Agustus 2016.

Surat Bambang sudah dibalas oleh Disbudpar. Begitu selesai membacanya, ia merasa tidak mendapat pencerahan sama sekali. ”Normatif banget,” katanya.


PUING-PUING yang terdapat di bekas Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo di Jalan Mawar, Surabaya.
(Foto: RIZAL HANAFI-HARIAN DISWAY)

Ady Setyawan Penulis Buku Surabaya: Dimana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu mengumpulkan memoar beberapa pelaku sejarah terkait peristiwa di Jalan Mawar.

Termasuk memoar Sulistina. Namun dalam memoar tersebut, Sulistina tidak menyebutkan secara rinci nomor alamat rumah tersebut. Ia hanya menulis Jalan Mawar. Memoar tersebut sempat dibahas di DPRD Surabaya. Hal tersebut rupanya sempat dijadikan titik lemah untuk menyudahi polemik tersebut. Sebab, bukti sejarahnya minim.

Namun Ady menemukan kisah lain dari Roeslan Abdulgani. Ia menulis tentang kunjungan Bung Karno ke rumah radio pemberontakan tersebut: 

Presiden Soekarno secara singkat berkunjung ke markas Radio Pemberontaknya Bung Tomo Embong Mawar 10. Saya harus mengakui saya kurang senang ada seorang perwira Inggris yang bersama Presiden saat datang berkunjung. Dia seharusnya tidak diberi kesempatan untuk mempelajari secara seksama cara kerja senjata propaganda kita.

Ady mendapat potongan kisah itu dari buku A Fading Dream: The Story of Ruslan Abdulgani and Indonesia. “Sebenarnya ada banyak kisah tentang rumah Jalan Mawar itu. Kalau ada yang meragukan kesejarahannya kok saya merasa aneh,” jelasnya.

Ady juga heran mengapa kasus robohnya bangunan bersejarah itu seperti masih jalan di tempat. Setelah lima tahun menunggu, ternyata pagar penutup bangunan masih tetap terpasang. Janji merekonstruksi bangunan lama juga belum terealisasi. (Salman Muhiddin-bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: