Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (3)

Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (3)

Pindakan Markas Pemberontak dari Tembok Dukuh

Putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo pernah diajak ibunya ke persil di Jalan Mawar 10-12 untuk melihat rumah radio pemberontakan itu. Almarhum Sulistina, sang ibu tahu persis apa saja yang terjadi di sana karena dia ikut terjun di medan pertempuran revolusi Indonesia 1945.

SULISTINA, anggota Palang Merah Indonesia (PMI) Malang itu dikirim ke utara untuk memperkuat pertahanan Surabaya. Belanda datang dengan bantuan tentara Inggris untuk merebut kembali daerah jajahannya. Mereka tiba dengan jumawa setelah menang di perang Asia Pasifik. 

Jepang yang sempat menguasai Indonesia hancur lebur dihantam bom atom. Sebanyak 140 ribu jiwa melayang di Hiroshima. Di Nagasaki korban mencapai 74 ribu orang.

Surabaya, sebagai salah satu kota terbesar yang dibangun pemerintah kolonial Belanda, adalah wilayah paling strategis. Kerajaan Belanda dibantu sekutu ingin menguasai kembali wilayah itu.  

Arek-arek Suroboyo sudah tahu kabar itu. Bahwa sekutu datang dengan kapal-kapal tempurnya menuju ke Surabaya. Pasukan dari berbagai daerah dikumpulkan. Mereka tak akan menyerahkan Surabaya tanpa perlawanan.

Komandan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) Bung Tomo menjadikan rumahnya di Jalan Tembok Dukuh sebagai markas. Sulistina ditempatkan di rumah pria yang kelak akan jadi suaminyi itu.

Namun, markas di Tembok Dukuh itu tidak bertahan lama. Bung Tomo merasa rumahnya tidak aman lagi dijadikan markas. Ia harus mencari tempat persembunyian. Pasukan ditarik mundur ke selatan.

Jeng, kita pindah markas. Kita mundur ke Jalan Mawar. Di sini sudah tidak aman lagi. Dan keadaan bertambah gawat. Palang Merah juga harus pindah,” ucap Bung Tomo Kalem. Sulistina menuliskan hal itu dalam memoarnya: Bung Tomo Suamiku yang diterbitkan 2008. Cinta mulai tumbuh di antara keduanya. 

“Matanya seperti menancap di mataku. Entah mengapa hatiku bergetar,” tulis Sulistina. Ia menggambarkan Bung Tomo sebagai pemuda yang sangat gagah. Ia mengenakan setelan drill ala Jepang. Kumisnya Rapi seperti Errol Flynn. Bintang film Amerika yang terkenal kala itu. Di peci hijau tuanya, Bung Tomo selalu menyematkan emblem banteng merah putih. 

Rombongan akhirnya mulai bergerak ke Jalan Mawar. Sulistina tidak menyebutkan di rumah nomor berapa. Gara-gara tidak memerinci nomor rumah itu, ada yang mencoba melemahkan pendapat bahwa markas pemberontakan itu belum tentu ada di Jalan Mawar Nomor 10-12 yang roboh.

Beng Jayanata yang jadi sorotan karena merobohkan rumah radio pemberontakan itu juga membawa memoar Sulistina saat diundang Komisi C DPRD Surabaya 20 Juni 2016. Dalam pertemuan itu, ia menyatakan tidak tahu bahwa rumah yang ia beli pada 2015 itu adalah bangunan cagar budaya tipe B. 


FOTO KENANGAN Bung Tomo dan Sulistina saat menggendong Megawati Sukarno Putri yang masih bayi.
(Foto: DOK PERPUSNAS)

Bambang Sulistomo yang pernah diajak ibunya masuk ke rumah radio itu menilai upaya membalikkan fakta itu harus dicegah. Jangan sampai narasinya malah menjadikan kasus ini menguap tanpa kejelasan. “Ibu pernah mengajak saya ke sana sebelum roboh,” ujar Bambang.

Dalam memoarnyi, Sulistina juga menggambarkan bahwa markas baru di Jalan Mawar lebih luas ketimbang markas pertama. Sudah ada zender atau pemancar radio yang digunakan Bung Tomo menggelorakan semangat pejuang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: