Serunya Menelusuri Kisah Adam secara Saintifik

Serunya Menelusuri Kisah Adam secara Saintifik

ADALAH sangat menarik mengkaji berita-berita agama dari sudut pandang saintifik. Memunculkan gairah. Sekaligus kontroversi.

Memunculkan gairah, karena kita memperoleh sudut pandang baru. Bahwa agama bukanlah sekadar dogma yang harus diyakini. Meskipun tidak mengerti. Melainkan, sebagai suatu pembelajaran penuh hikmah. Yang dikaji dan ditelusuri secara logis. Rasional. Dan, melalui bukti-bukti ilmiah.

Yang demikian itu sesungguhnya diajarkan sendiri oleh Islam. Bahwa, sebuah keyakinan harus diperoleh melalui keilmuan. Yang dikenal sebagai ilmul yaqin. Kemudian, dihayati melalui pengalaman. Yang dikenal sebagai ainul yaqin. Dan, berujung pada bukti-bukti meyakinkan. Yang dikenal sebagai haqqul yaqin.

Itulah sebabnya, Allah pun berfirman melalui kisah Nabi Ibrahim. Sang pembawa ajaran awal agama Islam. Bahwa, beliau adalah nabi yang bisa memberikan bukti atas keyakinan keagamaannya itu.

Ibrahim berkata: Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. Dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.” (Q.S. Al-Anbiya’: 56)

Maka, sesungguhnya pembelajaran Islam secara saintifik bukanlah hal baru. Itu justru menjadi salah satu fondasi dalam keilmuan Islam. Meskipun, kemudian dipertanyakan oleh sebagian kalangan Islam sendiri. Terutama penganut Islam yang sekuler. Yang memisahkan agama dengan ilmu pengetahuan.

Sementara itu, di kalangan yang bertauhid, pembelajaran agama Islam tidak akan pernah dipisahkan dari pembelajaran ilmu pengetahuan. Ataupun sains. Keduanya berada dalam satu ”tarikan napas” belaka.

Dengan mengkaji Islam secara saintifik, agama menjadi sesuatu yang sangat hidup. Menarik. Bahkan, menggairahkan. Menjadi penuh dengan logika. Kajian rasional. Adu argumentasi. Dan diskusi. Serta, retorika. Benar-benar mengasah kecerdasan. Memanusiakan manusia sebagai makhluk yang berakal.

Selain memunculkan gairah, kajian saintifik atas agama menjadikan ia kontroversial. Bukan lagi kebenaran tunggal. Yang sering kali diklaim dan dihaki oleh pihak-pihak tertentu. Bahkan, tak jarang dipolitisisasi untuk membenarkan kelompoknya sendiri. Sambil menuding dan mengecam kelompok lainnya sebagai tersesat. Bahkan, pantas masuk neraka.

Sebuah sikap yang berlawanan dengan firman Allah di dalam Al-Qur’an. Bahwa, sesungguhnya tidak ada yang tahu –apalagi boleh melakukan klaim– tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Dalam beragama. Sebab, kebenaran hanyalah milik Allah. Sedangkan kita semua hanyalah orang-orang yang sedang berusaha untuk mendapatkan kebenaran itu.

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl: 125)

Itulah sebabnya, kita dianjurkan untuk mengucapkan Allahu a’lam bissawab –Allah yang lebih tahu kebenarannya– ketika kita berpendapat ataupun mengajarkan ilmu kepada siapa pun. Bukan mengatakan Ana a’lamu bissawab –Aku yang lebih tahu kebenarannya– sambil selalu menyalahkan orang lain.

Bukan hanya di kalangan awam. Melainkan, di kalangan ulama dan ahli tafsir pun menggunakan ungkapan itu. Untuk menunjukkan kerendahan hati. Sekaligus ketidakpantasan kita untuk melakukan klaim kebenaran di atas pendapat lainnya. Yang mesti dikemukakan secara keilmuan.

Dalam konteks itulah, menelusuri kisah Adam secara saintifik menjadi sangat relevan dan menarik. Menggairahkan. Sekaligus memunculkan kontroversi. Dalam koridor keilmuan. Bukan sekadar dogma yang dipaksakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: