Panggung Kace Waloni
Berbeda dengan Kace, Waloni yang punya nama lengkap Muhammad Yahya Waloni berpindah dari Kristen ke Islam. Malah mengaku pernah menjadi pendeta. Ia telah menikahi wanita muslim. Tiga anaknya juga bernama seperti umumnya orang Islam.
Kace maupun Waloni kini sedang menjalani proses pemeriksaan polisi. Keduanya sudah menjadi tersangka ujaran kebencian yang berbau suku, agama, ras, dan antar golongan. Kita belum tahu bagaimana kelak nasib keduanya.
Perpindahan keyakinan seseorang merupakan persoalan privat. Soal pribadi. Bukan urusan publik. Namun, ketika mereka menjelek-jelekkan agama yang ditinggalkan, itu menjadi masalah publik. Apalagi dengan sengaja disiarkan melalui media sosial.
Ibaratnya, orang boleh bercerai dengan istrinya. Tapi, tidak perlu mengolok-olok mantan istrinya. Malah ia akan dianggap suami yang kurang kerjaan. Bahkan, bisa saja berakibat dikeroyok keluarga mantan istrinya.
Tidak masalah orang menikah lagi dengan lain hati. Tapi, jika ia memusuhi mantannya, apalagi secara terbuka, malah tak akan mendapat simpati. Bisa saja justru dianggap mantan suami yang kurang ajar.
Meski istri baru dipuji-puji karena sedang gandrung, belum tentu ia suka dibanding-bandingkan dengan mantannya. Apalagi, menjelekkan mantan sambil berharap mendapatkan materi dari pasangan barunya. Sambil menengadahkan tangan mencari imbalan.
Jika ada tipe orang seperti itu, sebaiknya tak perlu diperhatikan. Apalagi diberi panggung untuk mengolok-olok orang lain. Menjelek-jelekkan mantannya. Menjual kebencian tentang golongan maupun agama.
Mengapa Kace dan Waloni bisa mendapat panggung di negeri ini? Rasanya ini yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Orang seperti mereka berdua bisa mendapatkan panggung karena ada pasarnya.
Nah, pasar itulah yang perlu digarap. Cendekiawan LP3ES Fachry Ali melihat dua sosok yang membuat sensasi dengan kepindahan agamanya itu ngaco. Mereka bisa mendapat panggung karena pengertian agama umat di bawah masih rendah.
Mendongkrak pemahaman keagamaan umat rupanya menjadi agenda penting ke depan. NU sudah sejak lama menggarap melalui pondok pesantren dan berbagai pengajian di berbagai pelosok. Muhammadiyah telah bergerak lebih lama lagi di dunia pendidikan formal.
Namun, tampaknya arus kesadaran beragama lebih cepat daripada gerakan dua ormas Islam terbesar di Indonesia itu. Makin banyak yang perlu sentuhan pendidikan keagamaan secara benar. Yang tidak sekadar menjadikan agama sebagai gaya hidup. Tapi, jalan hidup.
Biarlah Kace dan Waloni yang dianggap telah meresahkan bangsa ini menjadi urusan polisi. Kalau perlu, mereka yang masing-masing berpindah keyakinan itu saling berdebat di panggung yang lain. Bukan panggung publik yang bisa terhasut oleh ujaran-ujaran kebenciannya.
Kalaupun ada yang ingin berdebat soal keyakinan, berdebatlah di ruang terbatas. Tak perlu gunakan panggung umat sebagai ajangnya. Saatnya jadikan negeri ini sajadah dan altar yang damai. Menjadikan ajang saling berbuat kebajikan. Bukan ajang saling menjelekkan.
Tak perlu memberi ruang bagi aktor yang bisa melubangi panggung besar bernama Indonesia. Panggung tanah air Nusantara yang telah diperjuangkan dengan jiwa dan raga oleh para pahlawan dan para pendiri bangsa. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: