Jokowi Tambah Amunisi Politik

Jokowi Tambah Amunisi Politik

MAU bermanuver apa pun di parlemen, pemerintahan Jokowi makin aman. Sebelumnya, didukung 6 dari 9 parpol penghuni Senayan. Juga sudah aman. Kini kian kuat dengan masuknya PAN dalam koalisi.

Tinggal Partai Demokrat dan PKS yang memilih di luar pagar istana.

Pekan lalu Presiden Jokowi mengumpulkan para ketua umum dan sekretaris jenderal parpol yang mendukung. Inilah kali pertama PAN bergabung. Setelah Amien Rais mundur dari PAN, partai tersebut mantap gabung ke istana.

Kekuatan pendukung Jokowi di DPR juga bertambah. PDIP (128 kursi), Golkar (85), Gerindra (78), Nasdem (59), PKB (58), PPP (19), dan PAN (44). Total 471 suara. Menguasai 81,9 persen suara DPR. Dengan demikian, segala UU yang diinginkan kelompok koalisi itu tak akan terbendung.

Di level MPR, koalisi juga begitu mudah bergerak. Jumlah anggota MPR 711 (575 DPR plus 136 DPD). Dengan modal 471 suara dari DPR, pendukung Jokowi hanya butuh tiga suara tambahan dari DPD untuk mencapai kuorum 474 suara (2/3 anggota MPR). Itu tentu tidak terlalu sulit. Dengan realitas politik seperti itu, secara politis amandemen bisa terjadi setiap saat.

Peta politik itulah yang kemudian membuat banyak yang curiga dengan agenda koalisi yang akan melakukan amandemen UUD. Termasuk merombak jabatan presiden bisa menjabat tiga periode. Walaupun Jokowi sudah menegaskan akan patuh dengan aturan sekarang (dua periode), sejumlah kalangan tetap menduga adanya agenda itu.

Abdul Rachman Thaha, anggota DPD dari Sulawesi Tengah, termasuk yang paling mencurigai munculnya amandemen aturan pilpres. ”Hampir seluruh fraksi di DPR seia sekata ingin melakukan amandemen. Hanya mereka masih malu-malu,” kata Thaha yang menceritakan situasi riil di parlemen.

Sebagai senator, Thaha akan menolak agenda perubahan UUD agar memberikan ruang kepada seseorang bisa menjabat presiden tiga kali. ”Saya yakin DPD sebagai lembaga juga akan menolak,” jelasnya lewat WA.

Ia melihat ada dua alternatif agenda yang diembuskan kelompok yang ingin memperpanjang masa jabatan presiden. Pertama, tiga periode lewat amandemen. Artinya, Jokowi atau SBY boleh ikut pilpres mendatang. Sedangkan isu kedua, pengunduran jadwal Pilpres 2024 menjadi 2027. Artinya, masa jabatan sekarang bertambah 3 tahun.

Isu pengunduran jadwal pilpres sudah berseliweran sejak beberapa pekan terakhir. Bahkan, muncul isu sudah dibahas KPU sebagai penyelenggara. ”Itu adalah berita tahun lalu yang salah kutip. Dan kini ada yang goreng kembali,” balas Arief Budiman, komisioner KPU, ketika saya kontak untuk konfirmasi.

KPU telah menyusun draf untuk dibahas dan ditetapkan dalam PKPU. ”Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 21 Februari 2024. Untuk pemilihan kepala daerah (serentak) 27 November 2024,” jelas Arief, pria yang juga mantan ketua KPU Jawa Timur itu.

Masalah tersebut akan terus berembus.  Tak hanya dari kalangan politikus, sejumlah LSM dan pentolan survei politik seperti M. Qodari juga terus-menerus  memperjuangkan agenda amandemen jabatan presiden boleh tiga periode.

Yang pasti, saat ini pemerintah sudah mengunci parlemen. Jokowi sudah merangkul mayoritas kekuatan politik legal formal. Kebijakan pemerintah pun akan berjalan mulus.

Langkah Jokowi itu juga sama dengan yang dilakukan SBY saat menjadi presiden. Ia membangun koalisi besar. Bila di era Jokowi, Partai Demokrat dan PKS yang di luar pagar; saat era SBY, yang memosisikan diri sebagai oposisi adalah PDIP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: