Mantan Gubernur Jatim Tertipu Investasi Tambang

Mantan Gubernur Jatim Tertipu Investasi Tambang

TERPIKAT dengan untung yang besar, mantan Gubernur Jawa Timur Imam Utomo kena tipu. Angkanya cukup besar. Yaitu, Rp 8 miliar. Dua orang berhasil menipunya. Keduanya ialah Fadjar Setiawan dan Hadi Suwanto.

Bermula pada 2017. Saat itu Fadjar dan Mujiono Moekmin Putra dari PT Antang Patahu Meaning (APM) datang ke rumah Direktur PT Kapuas Jambrud Sejahtera (KJS) Purwanto. Keduanya mengaku memiliki tambang batu bara di lahan PT Berkala International (BI) di Barito, Kalteng.

Namun, untuk mengelola tambang itu, mereka membutuhkan dana Rp 8,8 miliar. Karena itu, mereka menawari PT KJS sebagai pendananya. Purwanto lantas menyampaikan penawaran itu ke Imam. Sebab, Imam menjabat komisaris PT KJS.

Fadjar dan Mujiono bertemu Imam untuk menjajaki penawarannya. Fadjar meyakinkan telah menguasai proyek dan tambang di lahan tersebut. Bahkan, ia menunjukkan bukti yang ia miliki. Yaitu, dua surat keputusan (SK) bupati Barito Timur.

Masing-masing tentang kelayakan lingkungan hidup, kegiatan penambangan batu bara, dan izin usaha penambangan operasi produksi.

”Mendengar penjelasan terdakwa Fadjar, saksi Imam Utomo tertarik bekerja sama, tetapi PT KJS tidak memiliki dana yang diminta terdakwa sebesar Rp 8,8 miliar,” kata jaksa penuntut umum (JPU) Darmawati Lahang saat membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Surabaya Rabu (1/9).

Lantas, Imam minta bantuan modal kepada Soedono Margono. Ia pun bersedia memodali Rp 8 miliar. Tapi, melalui Franky Husein, direktur PT Kreasi Energi Alam (KEA).

Mereka sepakat nanti penjualan hasil tambang batu bara akan diprioritaskan ke PT KEA. Sedangkan PT KJS akan diberi fee Rp 30 ribu per metrik ton (MT). Lantas, Imam minta jaminan kepada Fadjar untuk pencairan modal.

Fadjar kemudian mengajak Hadi Suwanto sebagai pihak penjamin. Hadi menjaminkan dua unit rumah di Rungkut. Namun, sertifikatnya masih di notaris karena dalam proses balik nama dari pemilik lama ke Hadi. Setelah itu, mereka membuat perjanjian kerja sama bisnis di hadapan notaris.

Mujiono sebagai pengelola tambang, Imam sebagai pemodal, dan Hadi sebagai penjamin. Saat itu notaris sempat menolak membuatkan akta perjanjian. Sebab, PT APM belum berbadan hukum. Akhirnya disepakati perjanjian atas nama perseorangan. Bukan atas nama perusahaan.

Imam sempat minta karyawannya mengecek tambang ke lokasi. Setelah mengetahui bahwa tambang itu memang ada, Imam langsung mengirimkan uang ke rekening Fadjar. Namun, secara bertahap, lima kali.

Setelah diterima terdakwa, uang lalu dibagi. Purwanto mendapat bagian Rp 700 juta dan terdakwa Hadi Rp 4,55 miliar. Sisanya, yakni 2,75 miliar, digunakan untuk operasional penambangan.

Ternyata, penambangan tidak berjalan lancar. Operasionalnya berhenti. Akibatnya, Imam merugi Rp 8 miliar. Pun modal itu sampai sekarang tidak dikembalikan. Setelah diperiksa, tambang itu tidak bisa beroperasi karena PT APM belum memiliki legalitas.

Padahal, saat menyampaikan penawaran kerja sama bisnis, Fadjar meyakinkan bahwa semuanya sudah beres dan sudah siap menambang. Setelah sekian lama menunggu modal yang tidak kunjung dikembalikan, pemodal berencana mengeksekusi rumah yang dijaminkan Hadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: