Ortu Tiongkok Tetap Ingin Paksa Anak Belajar

Ortu Tiongkok Tetap Ingin Paksa Anak Belajar

AKHIRNYA, para orang tua menanggapi aturan anyar Pemerintah Tiongkok terkait pembatasan pengadaan les privat bagi anak sekolah. Pada Juli kemarin, pemerintah negara itu melarang lembaga tutor (les) untuk mengajar pelajaran inti di akhir pekan dan hari libur. Tujuannya untuk mengurangi beban pekerjaan dan menambahkan waktu luang anak.

Namun, orang tua keberatan. Banyak ibu dan ayah di Tiongkok khawatir anak-anak mereka akan ketinggalan pelajaran dan kalah bersaing.

“Tiongkok berkembang sangat cepat. Jika Anda tidak berpendidikan, bagaimana Anda bisa mendapatkan pekerjaan yang baik? Bagaimana Anda akan hidup sebagai orang dewasa? Kualitas hidup seperti apa yang dibicarakan jika anak saya berpenghasilan 5 ribu yuan (sekitar Rp 11 juta) sebulan dan menyewa rumah?” gerutu Liu Yanan, salah satu orang tua di Tiongkok, kepada South China Morning Post.

Ibu berumur 37 tahun itu juga cemas apabila kebijakan baru pemerintah malah membebani dirinya. Setelah pensiun, ia memang memutuskan untuk membantu putranya dalam seluruh mata pelajaran kecuali bahasa Inggris. Yanan memilih kursus online bahasa Inggris yang biayanya lebih dari 1.000 yuan (sekitar Rp 2 juta) untuk anaknya. Sekarang, ia harus mengambil alih peran ini karena kelas bahasa Inggris dan mata pelajaran penting lainnya dilarang di akhir pekan.

Menurut Yanan, zaman juga telah berubah. Orang-orang dari generasinya hanya perlu berhasil dalam pelajaran inti seperti bahasa dan matematika. Di era ini, itu saja tidak cukup, keahlian dalam bidang lain seperti olahraga dan seni juga dibutuhkan.

Kompetisi akademis Tiongkok memang berat.

Ibu rumah tangga asal Jiangsu itu merasa anaknya dirugikan dengan kebijakan tersebut. Waktu belajar mereka jadi lebih sedikit. “Semakin dikurangi beban kerja sekolah, semakin berat tas sekolahnya,” ceritanya.

Solusinya, orang tua di Tiongkok mengganti waktu luang anaknya dengan kelas-kelas tambahan di hari kerja. Lantas anak-anak malah semakin sibuk.


PELAJARAN TENTANG ROBOT di sebuah SD di Shanghai. Setelah jam sekolah, para siswa punya banyak waktu luang.
(Foto: China Daily)

“William memiliki kelas matematika tiga jam pada hari Senin, kelas bahasa Mandarin dua setengah jam pada haru Rabu dan kelas bahasa Inggris dua jam pada hari Jumat. Semua online,” curhat Liu Yu, bapak berusia 45 tahun asal Shanghai. itu belum termasuk pelajaran biola dan menunggang kuda di akhir pekan.

Dalam beberapa kasus, sebagian orang menyewa tutor privat yang menyamar sebagai pekerja rumah tangga. Ada juga yang melaksanakan tutorial one-on-one di kedai kopi atau hotel. Pelanggaran ini sampai ke telinga pemerintah Tiongkok. Alhasil, Kementerian Pendidikan Tiongkok mengeluarkan lagi aturan baru yang melarang hal tersebut.

Demi anak, orang tua di Tiongkok jadi nekat.

Sangat berbeda dengan Zhang Fan, seorang programer dari Beijing. Ibu berusia 39 tahun itu pro dengan kebijakan baru Pemerintah. Waktu senggangnya semakin banyak karena tidak lagi perlu memantau putrinya saat kursus di akhir pekan. “Ayahnya mengawasinya Sabtu lalu. Saya bahkan pergi ke salon kuku untuk pertama kalinya dalam hidup saya!” katanya.

Wang Xiaonan, seorang ibu dari dua anak di Tiongkok juga setuju dengan Fan. Menurutnya, orang tua jangan terlalu keras kepada anak-anak. Tidak perlu mendorong mereka secara akademis di usia yang begitu muda.

“Anak saya sangat senang. Sekolah telah mengikuti peraturan dengan cukup ketat, dan dia tidak memiliki pekerjaan rumah tertulis sebagai siswa kelas satu,” kata Xiaonan. (Doan Widhiandono-Jessica Ester)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: