Eksekusi Pencairan tanpa Ahli Waris Tahu
Deposito senilai Rp 3,1 miliar milik almarhum Indra Yulianto di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sentral Arta Jaya (SAJ), Probolinggo, diganjar oleh Pengadilan Negeri (PN) Kraksaan sebagai harta gono-gini. Sesuai amar putusan No. 36/Pdt.G/2016/PN Krs. tanggal 14 Juni 2017.
SESUAI hukum, warisan itu dibagi untuk dua pihak: ahli waris Indra Yulianto dan ahli waris istrinya, Vinsensia Sri Andrijany. Namun, putusan itu tidak diterima oleh ahli waris Indra Yulianto, yakni Ari Sandi Irawan.
Kemudian diajukan banding ke Pengadilan Tinggi hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Proses itu memakan waktu lama. Penolakan MA terhadap upaya kasasi Ari itu dibacakan PN Kraksaan pada 21 November 2019. Sehingga, amar putusan PN Kraksaan-lah yang berlaku.
“Sebenarnya mau ada upaya hukum lagi. Tapi, ya sudah kami terima saja putusan itu,” kata Ari. Baru ia mengajukan pencairan deposito itu ke BPR SAJ Probolinggo pada 21 Mei lalu. Selisih dua tahun dari tahun penolakan kasasi oleh MA. Kenapa demikian?
Ari beralasan, mertua almarhum kakaknya meninggal pada awal 2020. Keluarga ahli waris Vinsencia Sri Andrijany berduka. “Jadi kami tunda dulu untuk urus itu. Kami tidak sempat mengurus lagi karena saat itu awal-awal pandemi. Baru Mei tahun ini kami baru mau mencairkan,” jelasnya.
Ia bersama pengacaranya pun langsung mendatangi kantor BPR SAJ di Jalan Raya PB Soedirman, Kraksaan, Probolinggo. Membawa 6 bilyet deposito dan surat keterangan waris. Namun, permohonannya ditolak. BPR SAJ berdalih syaratnya kurang lengkap. Bahwa pencairan harus dilakukan bersama. Artinya, harus ada dua pihak ahli waris yang hadir.
“Padahal syarat pencairan di bank-bank lain tidak seribet itu. Saya rasa itu aneh. Waktu itu saya mau urus lagi, terus ada gelombang kedua Covid-19, jadi tertunda lagi,” ungkap pria yang tinggal di Cirebon, Jawa Barat, itu.
Ari mulai menangkap gelagat yang aneh. Inisiatifnya pun muncul. Ia segera menentukan langkah. Yakni langsung berkorespondensi dengan PN Kraksaan. Berkirim surat sebagai pancingan ke PN Kraksaan pada 02 Agustus lalu. Dalam surat itu diajukan pertanyaan soal bunga deposito yang tak dicantumkan di amar putusan.
PN pun menjawab bahwa soal bunga merupakan hak prerogatif majelis hakim. Jawaban itu beda dari yang dinyatakan oleh pihak bank. Sebab, kata Ari, BPR SAJ mendalilkan bahwa deposito itu tak berbunga atas perintah dari majelis hakim.
“Nah, apa bener begitu? Kalau bener, berarti itu bertentangan dengan UU Perbankan dan UU Pajak Penghasilan. Jadi bisa masuk kasus penggelapan itu. Saya tanya seperti itu, tapi tidak ada jawaban lagi,” ungkapnya.
Tak lama setelah itu, ia justru mendapat kabar itu dari surat dari PN Kraksaan tanggal 4 Agustus 2021. Bahwa separo deposito milik kakaknya sudah ditransfer oleh BPR SAJ sejak lama ke rekening ahli waris Vinsencia Sri Andrijany atas nama Noor. Nyaris dua tahun lalu, tertanggal 21 November 2019.
Padahal, jika mengacu pada aturan BPR SAJ, pencairan deposito tersebut harus dihadiri oleh dua pihak ahli waris. Seperti yang terjadi pada Ari sebelumnya. Permohonan pencairannya ditolak karena tidak menghadirkan ahli waris dari pihak almarhum Vinsencia Sri Andrijany.
Itulah yang membuatnya merasa janggal. Separo deposito senilai Rp 1,55 miliar milik almarhum kakaknya ditransfer begitu saja tanpa sepengetahuannya. Menurut Ari, eksekusi pencairan itu juga mencederai poin 4 amar putusan perkara. Yang menyatakan bahwa yang berhak membagi deposito itu adalah yang berhak menerima dan menguasai. Dalam hal ini adalah kedua pihak ahli waris. Jadi, bukan dari pihak bank.
“Kami bahkan gak tahu pencairan dari ahli waris almarhum istri. Kami dibohongi terus. Dipersulit terus. Banyak kejanggalan-kejanggalan seperti itu untuk menutup-nutupi,” ujar Ari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: