Sidoarjo Darurat Sampah

Sidoarjo Darurat Sampah

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sidoarjo di Jabon hanya mampu bertahan hingga Desember tahun ini. Jika tidak ada kebijakan khusus dari Pemkab Sidoarjo, sampah di kota delta bakal menumpuk di tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dan TPS terpadu (TPST).

“Sidoarjo punya delapan TPST. Termasuk yang paling banyak di Indonesia. Tapi terkesan belum berjalan,” kata Koordinator Komunitas Nol Sampah Hermawan Some kemarin (27/9).

Pemangkasan sampah sebelum ke TPA masih sangat minim.

Wawan, panggilan akrab Hermawan mengatakan, ada 330 TPST yang dikelola desa. Jika semuanya berjalan maksimal, maka, pemilahan sampah bisa dilakukan 30-40 persen.

Pemilahan di hulu juga perlu dipopulerkan. Sidoarjo perlu membentuk kader lingkungan di setiap kampung seperti yang dilakukan Surabaya.

Sampah organik dari dapur bisa diolah menjadi pupuk atau makanan bagi maggot. Larva Black Soldier Fly itu punya nilai ekonomis tinggi untuk pakan ternak dan binatang peliharaan. Sampah plastik, kertas, dan logam juga bisa dipilah sebelum sampai ke TPS. “Kalau pemkab mau memilah sampah sejak hulu, beban TPA bisa lebih ringan,” kata pemuda asal Sumbawa itu.

Di sisi lain, luas TPA Jabon relatif sempit. TPA yang dibangun 2004 itu luasnya hanya 8 hektare. TPA itu menanggung beban sampah 2,2 juta warga Sidoarjo. Bandingkan dengan Surabaya yang memiliki populasi 3 juta warga. TPA Benowo di Surabaya barat memiliki luas 37,4 hektare.

Ada juga Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan sistem gasifikasi. Bahan bakarnya adalah seribu ton sampah setiap hari. “Pemilahan sampah di hulu Surabaya juga jalan. Sehingga sampah di Surabaya jadi potensi, bukan masalah,” katanya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Sidoarjo Sigit Setyawan sudah memerintahkan TPST berkerja lebih keras. TPA sudah tidak mungkin menampung 460 ton sampah per hari. “Sekarang rata-rata 375 ton per hari. Sampai Desember masih mampu,” katanya.

Pemkab Sidoarjo sebenarnya punya Sanitary Landfill di TPA Jabon yang dibangun dua tahun lalu. Pemerintah Indonesia melalui Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR bekerjasama dengan Pemerintah Jerman dalam Program Emission Reduction in Cities–Solid Waste Management (ERIC-SWM). Selain Kabupaten Sidoarjo, beberapa kota/kabupaten juga menjadi pilot dalam program tersebut seperti Kota Jambi, Kota Malang, dan Kabupaten Jombang.

Revitalisasi dilakukan dengan mengubah sistem penimbunan sampah terbuka (open dumping) ke sistem tertutup. Tujuannya meminimalisir dampak pencemaran, baik air, tanah, maupun udara, sehingga akan lebih ramah lingkungan.

Dukungan Kementerian PUPR meliputi pembangunan akses masuk menuju TPA, fasilitas  pemilah berkapasitas 15 ton per hari, area pengolahan kompos berkapasitas 35 ton per hari, pengolahan air lindi berkapasitas 300 m3 per hari, dan pembangunan landfill baru seluas 5,89 hektar dengan kapasitas 1.650.000 m3.

Pengembangan sistem sanitary landfill TPA Jabon dikerjakan sejak Juli 2018 hingga November tahun lalu. Namun, pandemi membuat pekerjaan tertunda. Total anggaran revitalisasi itu tergolong cukup besar: Rp 399 miliar.

Sigit mengatakan salah satu kendala realisasi sanitary landfill tersebut adalah pengiriman alat dan tenaga ahli dari Jerman. Selain itu Pemkab Sidoarjo juga harus merekrut 95 orang tenaga pemilah sampah. Saat ini jumlahnya 14 orang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: