Latihan Empat Kali dengan Naskah Kirun
Pada masa pandemi begini, Ludruk Karya Budaya Mojokerto masih eksis. Pada 28 Agustus lalu, mereka mementaskan Suro Kenthir di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur.
Tirai panggung Cak Durasim perlahan tersingkap. Lalu terbuka lebar, lampu panggung menyorot seorang pria berbusana remo berwarna merah. Ia mulai menari dengan rancak.
Selendang putih yang tersampir di pundak dilemparkannya ke kanan-kiri dalam gerakan cepat. Kakinya berjingkat-jingkat. Kemudian berhenti. Menghadap arah penonton, menyunggingkan senyum. Ia pun membawakn jula-juli.
”Iwak pindang pinggir segoro, ayo tumandang mbangun negoro!” Kira-kira maknanya ajakan untuk membangun negara. Disampaikan Bagus Pramita. Ia membuka pementasan ludruk oleh Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto.
Lakonnya Suro Kenthir. Berkisah tentang seorang gadis cantik jelita bernama Maretta yang disukai oleh banyak orang. Salah satunya adalah Suro, ayah tirinya. Kecantikannya itu mengundang masalah.
Selain Maretta, tokoh yang berperan adalah Susilo, yang diperankan Ahmad Fatoni. Ia tampil setelah jula-juli. Mengenakan pakaian rakyat biasa, ia hendak pergi ke kota. Belum jauh ia berjalan, ibunya yang diperankan Ririn S, menghampirinya.
Dia menitipkan selendang pada Silo. Bukan jimat, melainkan untuk berjaga-jaga. ”Biyen bapakmu nek nang endi-endi mesti nggowo selendang iki. Gowoen ae, minangka kemul (dulu, bapakmu kalau ke mana-mana pasti membawa selendang ini. Bawalah saja, anggaplah selimut, red),” ujarnya.
Setelah ibunya pergi, suara gamelan berbunyi lagi. Khas irama jula-juli. Silo yang seorang diri di panggung mencari asal suara. Datanglah pria gemuk berkumis. Ialah Liwon. Liwon membawakan jula-juli bertema pandemi. Isinya masyarakat pada masa kini harus bersabar dan ikhtiar. Menuruti segala aturan demi terbebas dari wabah.
Liwon yang membawa beberapa makanan, memberikannya pada Silo. Tentu Silo senang dan perkenalan itu membuat mereka jadi sahabat. Mereka sepakat mencari kerja bersama-sama. Di tengah perbincangan, Liwon menganjurkan Silo untuk ikut vaksin. ”Sampeyan wis vaksin ping piro, Pak?,” tanya Silo. ”Wolulas.”
Silo kaget. Ditanya sudah berapa kali vaksin, kok dijawab 18 kali. Pernyataan itu lalu segera disahut oleh Liwon, ”Umume vaksin iku yo ping loro!”. Pertanyaan Silo membuatnya kesal. Sebenarnya tak usah ditanya. Semua orang sudah tahu. Umumnya, vaksin dilakukan selama dua kali.
Seperti umumnya ludruk, Karya Budaya Mojokerto selalu tak lupa menyelipkan humor-humor segar. Daya jenakanya mengundang tawa. Namun esensi alur kisahnya tak hilang. Seperti adegan ketika Maretta sedang menyendiri di kursi ruang keluarganya. Dia tampak sedih.
Sejenak, Maretta bernyanyi tembang jula-juli untuk menenangkan hatinya. Memet, pembantunya datang menghampiri. Ia bertanya soal anak majikannya yang terlihat gundah gulana. Maretta bercerita bahwa sepeninggal ibunya, ayahnya bersikap tak wajar padanya.
Bukan layaknya seorang ayah. Tapi seperti orang yang sedang jatuh cinta. Memet juga merasa janggal. Selama ini ia tidak diperbolehkan memasak atau membersihkan rumah. Semua pekerjaan harus dikerjakan oleh anak gadisnya itu.
”Tapi aku yo tau salah. Ndisik iku aku tau masak sambel yuyu. Dadi yuyu urip tak dekek wadah, nduwure tak sirami sambel,” ujar Memet. ”Terus yo’opo cak?,” tanya Maretta. ”Yo bapakmu pas kate mangan, yuyune mbrangkang. Pole bapakmu nguber yuyu sampek tekan prapatan,” jawabnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: