Latihan Empat Kali dengan Naskah Kirun
Memet mengaku pernah salah memasak. Ketika memasak kepiting, ia tuangkan sambal di atas kepiting hidup. Ketika ayah Maretta hendak makan, kepitingnya berjalan sampai sang bapak mengejarnya hingga perempatan jalan. Tentu saja penonton tertawa dengan adegan ini.
Selanjutnya, bapak Maretta, Suro, masuk ke panggung dan menyuruh Memet untuk pergi ke belakang. Ia dan Maretta berdua saja di kursi panjang tersebut. Saat itulah Suro menyatakan bahwa ia jatuh cinta pada anak tirinya. Maretta menolak.
Eh bapaknya memaksa. Hingga Maretta lari dari rumah. Memet yang mendengar perbincangan, ikut marah. Tak terima dengan kelakuan majikannya. Suro mengusir Memet. Dengan membusungkan dada, pembantunya itu memilih pergi daripada ia bekerja di tempat majikan yang berkelakuan buruk.
”Aku ngalih! Tapi titenono! Ati-ati nek malem Jumat onok sleret ijo liwat!,” tukasnya. ”Lho, ngancam? Koen katene nyantet aku?,” jawab Suro. ”Laopo, sleret ijo iku maksude onok bakul pring liwat!,” guraunya. Lantas pergi meninggalkan panggung disusul gelak tawa penonton.
Memet marah karena ia diusir pergi oleh majikannya. Dengan nada mengancam, ia memberitahu majikannya. Bila pada malam Jumat melihat sekelebat warna hijau, maka majikannya harus hati-hati. Tapi itu bukanlah santet, melainkan pedagang bambu yang lewat di depan rumah.
Begitulah, gurauan tetap muncul di sela adegan penuh amarah. Setelah Maretta dan Memet pergi, di tengah jalan mereka dihadang dua begal kakak-beradik. Badar, yang diperankan oleh Didit Mahendra, dan Badir, yang diperankan Triyoga Arikuncahya.
Dua begal ini ternyata jatuh cinta setelah melihat Maretta. Dengan cerdik, Maretta ingin keduanya bertarung. Siapa yang menang, berhak jadi suaminya. Ketika kakak-adik itu lengah karena sibuk berkelahi, Maretta dan Memet lari meninggalkan mereka.
Mereka berjumpa dengan lurah. Ia ditemani bayan, atau perangkat desa. Kebetulan pula Silo dan Liwon muncul. Kagetnya, ternyata, Silo adalah intel atau petugas keamanan yang menyamar. Mereka sepakat untuk meninggalkan Maretta seorang diri. Tujuannya, menjebak dua begal dan Suro, bapak tiri Maretta yang mesum.
Benar saja, dua begal itu datang sambil meneriakkan nama Maretta. Rupanya kakak-beradik itu sama-sama gila karena cinta. Keduanya dengan mudah ditangkap. Terakhir, Suro datang. Ternyata ia juga gila.
Ujung kiri celana panjangnya tertekuk sampai ke lutut. Cingkrang sebelah. Ia menari-nari tak karuan sambil menyebut Maretta. Ia ditangkap. Pada adegan akhir, semua bersyukur karena telah menyelamatkan harga diri Maretta sekaligus berhasil menangkap tiga penjahat.
Suro Kenthir merupakan adaptasi dari kisah serupa yang diciptakan oleh H Syakirun alias Kirun, pelawak legendaris. Seperti umumnya pementasan ludruk, mereka tak menggunakan naskah. Mujiadi, sutradara sekaligus pemeran lurah hanya mengatur alur cerita.
Selebihnya, para aktor mengandalkan improvisasi. ”Kami hanya sempat latihan bersama selama empat kali di sanggar Karya Budaya di Canggu, Mojokerto,” ujar Edy Karya, ketua Paguyuban Ludruk Karya Budaya yang berdiri pada 29 Mei 1969.
Edy adalah anak Bantu Karya, penggagas Karya Budaya. Di tangannya, ludruknya masih mendapat respons positif. Terutama di kalangan masyarakat pedesaan. ”Kalau di kota memang sudah minim. Agar tetap eksis, kami perlu penyesuaian dengan tema-tema masa kini. Humornya pun harus update,” ujar pria 65 tahun itu.
Terlebih pada masa pandemi sekarang ini yang membuat seniman harus bersabar. Utamanya seniman tradisi. Termasuk ludruknya. Maka ketika diizinkan pentas di Taman Budaya, Edy sangat senang. ”Tentu kami tampil dengan menaati protokol kesehatan,” katanya.
Semua aktor di atas panggung menggunakan face shield. Meskipun begitu power vokal mereka masih terjaga. Gesture-nya luwes. Menandakan, mereka aktor-aktor senior. Sangat menghibur. ”Jika tak sempat menonton langsung, silakan saksikan di akun YouTube Cak Durasim,” tegasnya. (Guruh Dimas)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: