Dipengaruhi Bapak-Kakek, Mengenal dari Poniman

Dipengaruhi Bapak-Kakek, Mengenal dari Poniman

Dua kitab suci Budda Jawi Wisnu yang dipakai sebagai panduan peribadatan. (Rizal Hanafi/Harian Disway)

Meski telah lestari sebagai kepercayaan Wisnu, secara struktural atau bersifat organisatoris, agama tersebut didirikan pada 1925 oleh tokoh bernama Kusumodewo. Para penganut Budda Jawi Wisnu menyebutnya sebagai Romo Resi Kusumodewo.

Disebut resi, karena ia merupakan pemimpin tertinggi agama tersebut sekaligus orang yang memiliki tingkat spiritual mumpuni. Pendirian itu berasal dari wahyu yang diterimanya ketika sedang bersemadi di Gunung Kawi.

Resi Kusumodewo yang membabarkan kepada banyak orang tentang agama Budda Jawi Wisnu. Kepada umatnya, Resi menegaskan berkali-kali bahwa kata Budda tidak sama dengan Buddha. Kata itu memiliki arti perilaku yang terpuji atau budi.

Sedangkan kata Jawi berarti agama tersebut menekankan peribadatan dengan menggunakan bahasa dan tata cara Jawa. Kata Wisnu berarti manifestasi Dewa tertinggi, pemelihara alam semesta yang mereka hormati.

Dalam Budda Jawi Wisnu, mereka mengenal Tuhan Esa yang memanifestasikan sifat-Nya dalam kuasa Dewa-Dewi, Bathara-Bathari serta entitas suci lainnya. Namun bagi penganut Budda Jawi Wisnu tak diwajibkan untuk memahami dengan rinci semua nama-nama entitas suci tersebut.

Bahkan jika hanya mengetahui sedikit saja sudah cukup. ”Cukup mengetahui bahwa penguasa tertinggi adalah Tuhan Yang Mahaesa. Yang paling penting adalah perilaku. Laku diri manusianya harus benar. Senantiasa berbuat kebaikan bagi alam maupun sesamanya,” ungkap ayah delapan anak tersebut.

Tepatnya pada 25 November 1925, kepercayaan tersebut berdiri. Lokasi pendirian dan rutinitas peribadatan pertama kali dibangun di daerah Kampung Malang, Surabaya. Para penganut agama tersebut selalu mengadakan meditasi pada hari Jumat malam, Minggu malam dan Selasa malam.

Praktik yang dilakukan turun-temurun oleh para penganut Wisnu. Mereka juga meyakini bahwa titik kulminasi aspek rohani atau spiritual, berlangsung pada pukul 12 malam. Sedangkan puncak kulminasi aspek ragawi atau material, berlangsung pada pukul 12 siang.

Legino Marto Wiyono di samping foto Romo Resi Kusumodewo, pendiri perkumpulan spiritual Budda Jawi Wisnu pada 1925. (Rizal Hanafi/Harian Disway)

Resi Kusumodewo melakukan laku hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Namun ia menugaskan seorang tokoh, biasanya telah berstatus sebagai pandhita, untuk memimpin Budda Jawi Wisnu di Surabaya dan beberapa daerah lain yang ditinggalkannya.

Laku tersebut dilakukan berdasarkan wahyu, untuk mengumpulkan para penganut Wisnu yang memang banyak tersebar di berbagai daerah untuk disatukan dalam wadah Budda Jawi Wisnu.

Selain karena ajaran budi pekerti dan keluhurannya, Budda Jawi Wisnu pada masa lalu sangat populer di kalangan masyarakat. ”Bahkan mayoritas warga banyak memeluk Budda Jawi Wisnu. Pada masa itu penganut terbanyak berasal dari Banyuwangi. Kalau boleh dibilang mencapai 70 persen dari jumlah penduduk,” ungkapnya.

Mengapa menurun drastis hingga jadi minoritas seperti saat ini? ”Karena tragedi ’65 dan dampaknya. Apalagi aturan pemerintah ketika itu mewajibkan rakyat untuk memeluk satu agama yang diakui. Kalau tidak, bisa dituduh membangkang,” tambahnya.

Belum lagi pada masa itu, pemeluk kepercayaan sangat terdiskriminasi dengan label sesat. Banyak oknum yang memprovokasi masyarakat untuk melakukan pelarangan atau perusakan terhadap sanggar mereka. Tak hanya Budda Jawi Wisnu. Aliran kepercayaan lokal lainnya kerap mengalami hal serupa. (Guruh Dimas/bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: