Dipengaruhi Bapak-Kakek, Mengenal dari Poniman

Dipengaruhi Bapak-Kakek, Mengenal dari Poniman

Sedari kecil Kusnadi -nama kecil Legino Marto Wiyono- dibesarkan dalam lingkungan religius Jawa. Ayah dan kakeknya seakan mengetahui bahwa kelak ia akan jadi spiritualis. Itu terbukti. Legino bahkan menjadi pemimpin Budda Jawi Wisnu.

Sayap serangga bergesekan mengeluarkan suara berderit. Berpadu dengan suara gemeratak batang bambu tertiup angin. Di sela lubang dinding kayu rumah Kusnadi, ia melihat bapaknya sedang duduk bersila di halaman rumah.

Tangannya dalam posisi bersidekap. Menghadap ke timur. Sinar bulan remang menyorot tubuhnya. Tiap malam bapaknya selalu bermeditasi. Ketika ia mendekat, terdengar gumaman dalam bahasa Jawa. Malam itu ia turut duduk di belakang bapaknya dan mengambil gerakan yang sama.

Setelah usai, sang bapak melihatnya dan tersenyum. ”Yahmene kok rung turu, le?,” ujarnya pada Kusnadi. Sang bapak bertanya padanya. Hari sudah larut tapi Kusnadi belum juga tidur.

Kusnadi menggeleng. Karena penasaran, ia bertanya tentang meditasi yang dilakukan bapaknya tiap malam dan apa yang digumamkannya dalam bahasa Jawa. ”Bapak waktu itu bilang ’suk mben kowe iso dewe,” ujar Kusnadi, nama asli Legino Marto Wiyono.

Katanya, di masa depan ia akan mengerti dengan sendirinya. Jawaban yang sama ia dapat dari kakeknya. Tiap malam, di rumah sang kakek yang tak jauh dari rumah masa kecilnya, Kusnadi melihat proses meditasi yang sama seperti dilakukan bapaknya.

Saat ditanya pun kakeknya mengatakan hal yang sama: ’suk kowe bakal iso dewe, le.’ Sepertinya baik bapak maupun kakeknya telah menyadari potensi spiritual yang dimiliki Kusnadi. Ia baru bisa merasakan kemampuannya itu semakin meningkat ketika menganut agama Budda Jawi Wisnu.

Awalnya di bawah bimbingan Poniman. Ia adalah guru yang pertama kali mengenalkannya pada agama tersebut. Lantas ia mengikuti segala tata cara seperti puasa, samadi dan lain-lain. Semakin menekuni, semakin tinggi kepekaannya.

Apakah bapak dan kakeknya juga menganut Budda Jawi Wisnu? ”Saya tidak berani memastikan. Namun dulu setiap malam, baik bapak maupun kakek, pasti bermeditasi dengan posisi sedakep saluku tunggal,” ujarnya.

Posisi tersebut adalah duduk bersila dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kiri. Posisi tangan bersedekap. Budda Jawi Wisnu dan beberapa kepercayaan Jawa lain juga melakukan gerakan tersebut dalam setiap meditasinya.

Perkataan ’suk kowe ngerti dewe seakan menjadi pertanda bahwa kakek dan bapaknya mengerti tentang potensi spiritual Kusnadi. Bahwa kelak ia menjadi orang yang gigih mempertahankan eksistensi aliran kepercayaan Budda Jawi Wisnu.

Sebenarnya, Budda Jawi Wisnu telah dianut secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa, khususnya masyarakat agraris. Bahkan diprediksi sejak zaman Hindu-Buddha, dari era kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad 5 Masehi.

Kepercayaan itu lestari. Mereka mengenalnya sebagai kepercayaan Wisnu atau Waisnawa. Menekankan pemujaan terhadap Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam semesta.

”Berbeda dengan Waisnawa di India, kami juga memuja Dewi Sri sebagai Dewi padi atau penguasa kesuburan. Kisah tentang Bathara Wisnu versi kami serta dasar keagamaannya juga berbeda,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: