Berat, Tak Mau Disebut Resi

Berat, Tak Mau Disebut Resi

Resi Kusumodewo wafat pada 1992. Posisi pemimpin pusat Budda Jawi Wisnu pun kosong. Organisasi mandeg selama bertahun-tahun. Hingga semua siswa dari berbagai daerah ingin menunjuk sosok Legino Marto Wiyono sebagai penggantinya.

Menjadi pemimpin di kalangan Budda Jawi Wisnu wajib memiliki tingkatan spiritual yang tinggi. Laku puasa, semadi, memimpin upacara, dan berbagai ketentuan lainnya harus mampu dilakukan dengan maksimal. ”Di antara itu, yang paling susah adalah menjalankan puasa,” ujar Legino.

Dokumen-dokumen terkait Budda Jawi Wisnu yang mendata berbagai hal para penganutnya disimpan Legino Marto Wiyono dengan rapi di rumahnya. (Rizal Hanafi/Harian Disway)

Berbeda dengan sistem puasa agama lain, Budda Jawi Wisnu memiliki tiga jenis puasa. Pertama, puasa mutih. Kedua, puasa di bulan Phusa. ”Ketiga, dan yang terberat adalah puasa ngebleng. Tujuh hari tidak makan dan minum,” ujarnya.

Makanan dibatasi. Hanya nasi putih sekepal dan air putih. Makan pertama pukul enam sore,. Boleh makan kembali keesokan harinya pada pukul enam sore pula. ”Cukup berat memang. Tapi jika kita ingin mendapat restu dari Tuhan, maka tubuh dan pikiran harus dibersihkan dengan cara puasa,” ungkapnya.

Efek spiritual yang paling kentara saat melakukan puasa ngebleng. Tujuh hari full tanpa makan dan minum. Tingkat kepekaan seseorang akan meningkat. Tapi tak sembarang orang dapat melakukan puasa tersebut.

”Pokoknya dilandasi dengan niat, semua akan tercapai. Saya pernah ngebleng beberapa kali. Pengalaman spiritual yang didapat sangat luar biasa,” tutur pria 78 tahun itu.

Sebagai orang yang memiliki indera ketujuh, Legino banyak didatangi orang untuk meminta tolong. Tak jarang, tamu-tamunya tertarik untuk memelajari keyakinan Budda Jawi Wisnu yang dianutnya. Sehingga lambat laun kepercayaan tersebut memiliki banyak pengikut. Bahkan sebagian besar kaum muda.

Kesibukan Legino Marto Wiyono di rumahnya, Jalan Bratang Gede III-I Surabaya salah satunya merawat burung perkutut. (Rizal Hanafi/Harian Disway)

Tak hanya belajar secara teori. Legino sering mengajak siswa lainnya untuk bersemedi di berbagai candi bercorak Wisnu, atau di gunung-gunung. Seperti Gunung Arjuna dan Gunung Kawi. ”Semua merasakan efek spiritual yang berbeda-beda. Itulah yang semakin menguatkan keyakinan mereka untuk memeluk Budda Jawi Wisnu,” ujarnya.

Para siswa atau penganut Budda Jawi Wisnu dari kalangan muda itulah yang banyak membantu Legino untuk mengurus administrasi, melakukan cetak surat-surat dan berbagai dokumen lainnya, termasuk menyebarluaskan ajaran Budda Jawi Wisnu di sosial media.

Tjahja Tribinuka dan Andy Kristiantono, misalnya. Tjahja, seorang dosen arsitektur di ITS Surabaya yang banyak menulis tentang pemikiran-pemikiran terkait Budda Jawi Wisnu. Sedangkan Andy berpengalaman dalam organisasi.

Kemampuannya itu ia gunakan untuk membantu segala urusan administrasi, membantu merancang struktur kepengurusan termasuk mengumpulkan para penganut Budda Jawi Wisnu di berbagai daerah.

Legino Marto Wiyono menunjukkan kartu keanggotaan Budda Jawi Wisnu yang dimiliki para penganutnya. (Rizal Hanafi/Harian Disway)

Sumber: