No Time to Die, Ketika James Bond Menyerah pada Cinta

No Time to Die, Ketika James Bond Menyerah pada Cinta

Safin memang bertindak jauh. Ia tidak hanya membasmi Spectre. Tapi juga membuat pabrik nanobot dan menyimpan database DNA miliaran penduduk bumi. Intinya, Safin memproduksi senjata pemusnah massal. Bond harus menghentikannya.

The problem is—yang membedakan Bond versi Craig dengan sebelumnya—ia jatuh cinta. Menghadapi para Bond girl, ia tidak memberlakukan prinsip love them and leave them. Alias tiduri dan tinggalkan. Love versinya benar-benar bermakna cinta.

Dalam Casino Royale, ia jatuh cinta pada Vesper Lynd (Eva Green). Gadis itu akhirnya tewas. Bond membuka hati lagi. Kali ini buat Madeleine Swann (Lea Seydoux). Cewek yang ia kenal di Spectre. Ia bahkan memiliki anak dari hubungan itu. Perempuan. Imut banget. Namanya Mathilde (Lisa-Dorah Sonnet).

Dalam upaya menghancurkan pabrik senjata Safin di pulau terpencil, Bond malah disuntik nanobot. Yang diprogram untuk membunuh Madeleine dan Mathilde. Daripada membahayakan hidup dua orang yang dicintainya, Bond memilih tidak meninggalkan pulau. Padahal, misil kapal perang Inggris telah meluncur ke pulau tersebut…

 

Perpisahan yang Pantas

Menurut David Sims dari The Atlantic, film-film Bond punya kecenderungan aneh. Film terakhir seorang aktor selalu paling jelek dibandingkan film-film yang lain. Misalnya Diamonds Are Forever menjadi film Connery yang paling buruk. Demikian juga A View to a Kill dari Roger Moore. Die Another Day juga kalah jika dibandingkan tiga film Pierce Brosnan sebelumnya.

Craig hampir saja meninggalkan warisan serupa dengan Spectre. Film yang dirilis pada 2015 itu sempat ia sebut sebagai film Bond terakhirnya. Sebelum MGM dan Eon merayu Craig untuk memerankan Bond lagi. Dengan iming-iming gaji Rp 500 miliar.

MGM dan Eon memahami betul hal itu. Karena itu, No Time to Die tidak hanya bekerja keras membereskan narasi Spectre yang berantakan. Ia juga menjadi panggung farewell yang manis buat Craig. Ambisius, hingga banyak melanggar pakem Bond klasik. Tapi film itu sukses memberi gambaran Bond yang utuh. Yang tidak hanya dependable. Namun juga manusiawi. 

Sutradara sekaligus penulis Cary Joji Fukunaga (yang menggarap skrip bareng Neal Purvis, Robert Wade, dan Phoebe Waller-Bridge) menjahit skenario dengan halus. Sehingga, dalam tataran emosional, plot No Time to Die terasa nyambung dengan Spectre. Semua judgement Bond dalam No Time to Die sangat masuk akal.

Mengapa ia mau membantu agen CIA Felix Leiter (Jeffrey Wright), mengapa ia meninggalkan masa pensiunnya yang tenang di Jamaika, mengapa ia jatuh cinta kepada Madeleine. Semua berjalan natural. Alasan ia memilih mati juga bisa dimengerti. Meskipun sebenarnya ia punya opsi hidup tanpa Madeleine dan Mathilde. Toh selama ini juga begitu.

Plot Bond jatuh cinta sungguh di luar pakem klasik 007 buatan Ian Fleming. Tapi, sejak awal Craig bilang bahwa ia tidak tertarik memerankan Bond yang asal meniduri perempuan. Di No Time to Die, ia mengajak audiens untuk mengakui bahwa si agen rahasia punya banyak kelemahan.

Perubahan pada cara bercerita ala Fukunaga dan Waller-Bridge justru menegaskan konsistensi Craig selama memerankan Bond. Ia mengintepretasikan karakter si agen rahasia sebagai hewan yang terluka. Yang sulit mempercayai siapa saja. Bond bukan sekadar properti Kerajaan Inggris yang sakti mandraguna. Ia bisa sakit. Bisa mencintai. Bisa mendendam. Dan bisa mati.

No Time to Die—sekali lagi, memang bukan film Bond terbaik. Tapi ia merupakan film yang komplet. Sisi dramanya kuat. Keseruan khas franchise Bond juga terjaga. Meskipun plotnya tidak sempurna. Ini jelas akal jadi salah satu yang paling dikenang. (Retna Christa)

TIRAI telah ditutup. No Time to Die menjadi akhir era Daniel Craig dalam franchise James Bond. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: