Tiga Kepentingan Tiongkok di Afghanistan

Tiga Kepentingan Tiongkok di Afghanistan

Harian Disway - DALAM hubungan internasional, pemerintah komunis Tiongkok sudi berkawan dengan siapa saja. Tak mau ambil pusing ideologi atau sistem apa yang dijalankan mitranya. Asalkan, menguntungkan bagi kepentingan nasional Tiongkok. Pragmatis, pokoknya. Karena itulah, Tiongkok bisa berhubungan baik dengan Palestina dan Israel dalam waktu yang sama.

Pun demikian hubungan Tiongkok dengan Taliban Afghanistan. Kepentingan Tiongkok terhadap mereka setidaknya ada tiga. Pertama, kepentingan terkait keamanan. Itu terutama dilatarbelakangi keberadaan kombatan East Turkestan Islamic Movement (ETIM) di Afghanistan.

Sejak dulu Tiongkok selalu meminta Taliban untuk memutus kontak dengan ETIM. Taliban pun selalu mengiyakan permintaan Tiongkok itu. Baik ketika Mullah Omar –orang nomor satu Taliban– menemui Dubes Tiongkok untuk Pakistan Lu Shulin yang sowan kepadanya di Kandahar pada penghujung tahun 2000 maupun ketika delegasi tingkat tinggi Taliban berkunjung ke Tiongkok pada Juli 2021.

Meski begitu, hingga sekarang belum ada berita Taliban (mau) mendeportasi ratusan kombatan Uighur yang ada di negaranya. Janji vs realitas masih jauh panggang dari api. Beda dengan Indonesia yang meski pernah berjanji tidak akan mengekstradisi Uighur, tetapi pada 2020 ternyata diam-diam memulangkan empat pesakitan Uighur yang bergabung dengan kelompok teroris Santoso di Poso.

Karena itu, kendati Taliban memberikan sinyal akan menjadi lebih moderat, apakah mereka akan benar-benar demikian nantinya, masih memberikan ketidakpastian tersendiri bagi Tiongkok –dan dunia, tentu saja.

Terlebih, bisa saja kemenangan Taliban akan menjadi penyemangat bagi kelompok separatis Uighur untuk terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah Tiongkok. ”Taliban” yang dalam bahasa Pashtun berarti ”pelajar” boleh jadi akan menginspirasi pemberontak Uighur untuk menghidupkan kembali "Jadidisme", gerakan pembaruan yang dipelopori pengusaha dan kaum intelektual bangsa Turk pada akhir abad ke-19.

Dua kelompok masyarakat itu, kita tahu, memainkan peran penting dalam pemberontakan Uighur di Xinjiang yang pada 1933 berhasil mendirikan pemerintahan independen bernama Republik Islam Turkestan Timur.

Kedua, kepentingan ekonomi. Karena alasan instabilitas, Tiongkok mengesampingkan Afghanistan dalam megaproyek jalur sutra baru (OBOR) yang digagasnya. Padahal, jika dilihat dari kacamata sejarah, Afghanistan –lewat Koridor Wakhan di Provinsi Badakhsan– adalah trayek krusial jalur sutra yang menghubungkan Tiongkok dengan Asia Barat, Asia Selatan, dan bahkan Eropa. Biksu Faxian, Xuanzang, dan Marco Polo tercatat pernah melintasi koridor yang berada di ketinggian 4.000-an mdpl itu.

Jika Taliban bisa menjamin stabilitas Afghanistan, fungsi strategis Koridor Wakhan sebagai hub ekonomi (sekaligus peradaban Timur dan Barat) itu bisa-bisa dimaksimalkan lagi. Salah satu caranya adalah membangun jalan raya atau jalur kereta api dari Tashkurgan.

Tashkurgan adalah kabupaten otonomi suku Tajik yang berada di bawah administrasi Kasghar, kota tua nan bersejarah di Xinjiang. Itu adalah kabupaten yang berbatasan dengan tiga negara sekaligus: Afghanistan di barat daya, Pakistan di selatan, dan Tajikistan di barat laut.

Kabarnya, pada 2009 pemerintah Afghanistan dengan Tiongkok menandatangani kesepakatan untuk melakukan studi kelayakan pembukaan koridor yang mengular sepanjang sekitar 300 km dari barat ke timur itu. Tiongkok memang menutup rapat-rapat satu-satunya wilayah negaranya yang berbatasan langsung dengan Afghanistan tersebut ketika pada Oktober 2001 Amerika Serikat (AS) dan sekutunya mulai menggempur Taliban Afghanistan.

Kalau jalan raya dari Tiongkok ke Afghanistan lewat Koridor Wakhan itu jadi dibangun (kendati selain faktor keamanan, faktor alam juga akan menjadi penentu jadi/tidaknya), itu akan menjadi jalur perdagangan dan energi yang sangat strategis lagi ekonomis bagi Tiongkok.

Apa yang oleh mantan Presiden Tiongkok Hu Jintao sebut sebagai "Malacca dilemma" alias ketergantungan Tiongkok kepada Selat Malaka untuk menyalurkan minyak yang diimpornya dari Timur Tengah dan Angola guna menggerakkan mesin besar ekonominya, pun akan bisa diminimalkana. Afghanistan juga akan kelimpahan banyak pundi, mengingat kayanya negara itu akan sumber mineral yang masih belum tereksploitasi.

Salah satu sumber mineral yang sangat banyak jumlahnya di Afghanistan adalah litium. Sulit bagi Tiongkok yang sedang gencar-gencarnya mengembangkan teknologi serta energi baru dan terbarukan (EBT) untuk tidak ngiler pada kekayaan Afghanistan yang satu ini. AS sudah lama meramalkan Afghanistan akan menjadi "Saudi Arabia of lithium". Dalam arti, kalau Saudi menjadi kaya raya berkat minyak, Afghanistan akan menjadi tajir melintir berkat litium.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: