Dana Habis, Misi Belum Tuntas
Layar kapal pinisi itu terkembang pada 4 September lalu dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Sudah genap satu bulan para Ksatria Airlangga menjalankan misi. Berlayar ke pulau-pulau kecil sekitar Madura.
DARI 14 pulau tujuan, tersisa tiga yang gagal disinggahi. Mereka tidak bisa melanjutkan pelayaran. Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) tidak sempat memberi layanan kesehatan kepada masyarakat di Pulau Masalembu, Masakambing, dan Karamian.
“Dana dan logistik kami tidak cukup. Akhirnya terpaksa pulang,” kata Penanggung Jawab Kapal RSTKA dr Agus Harianto. Sejak dilayarkan pada lima tahun lalu, RSTKA tercatat sudah menjalankan 21 agenda. Dan ini kali pertama misi mereka tidak tuntas.
Selama ini pendanaan mereka banyak didukung oleh beberapa perusahaan. Namun, dukungan itu seret di masa pandemi. Sehingga kapal RSTKA berlayar dengan dana pas-pasan.
Keterbatasan itu tak membuat patah arang. Rencananya, akhir November nanti tiga pulau yang tersisa itu bakal dikejar. “Kita juga ingin keluar dari ketergantungan sumbangan. Masih memulai social-preneur. Semoga bisa segera ada hasilnya,” jelas Agus.
Ia bersama delapan dokter muda masih semangat. Sebab, selain memberi layanan kesehatan, tim RSTKA juga meriset. Yakni tentang perspektif masyarakat kepulauan tentang vaksin Covid-19.
Ketua Tim Peneliti RSTKA dr Sherly Yolanda menyatakan telah menemukan beberapa fakta. Terutama tentang rendahnya minat masyarakat terhadap vaksin Covid-19. Sebagian besar dari mereka termakan berita hoaks.
“Ada yang bilang vaksin itu bisa mematikan. Kalau divaksin imunnya malah melemah. Kalau divaksin bisa lumpuh dan stroke. Bahkan ada yang percaya bahwa Covid-19 itu gak bahaya,” ujarnyi kemarin (16/10).
Sebab, paparan informasi masyarakat kepulauan sangat terbatas. Sumber informasi mereka didominasi televisi. Tidak banyak yang memiliki smartphone. Begitu ada seseorang mendapat informasi hoaks dari grup WhatsApp, maka dengan mudah langsung disebar ke orang sekitarnya. Tanpa ada yang bisa menjaring kebenaran informasi tersebut.
Ironisnya, yang mendapat informasi hoaks itu justru para tokoh masyarakat. Akhirnya, masyarakat pun percaya. “Itu yang paling susah. Tokoh masyarakat juga malah sebar berita hoaks,” kata perempuan lulusan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu.
Selain itu, ada temuan lain di beberapa pulau. Masyarakat justru tidak menaruh kepercayaan pada tokoh agama. Misalnya, yang terjadi di salah satu pondok pesantren. Kyai meminta para santri untuk divaksin. Namun, keluarga para santri tidak mengizinkan. Bahkan dengan ancaman akan mengeluarkan anak mereka dari pesantren.
“Ada juga yang mau divaksin asal ada reward-nya,” ujar dokter relawan muda lainnya, Pandit Bagus Tri Saputra. Misalnya, setelah divaksin dapat hadiah sembako. Atau terpaksa mau divaksin agar bisa naik kapal untuk pergi ke Jawa.
Dari hasil riset itu, Pandit mengungkapkan beberapa rekomendasi untuk mempercepat vaksinasi. Pertama, perlunya mobilisasi bantuan nakes di kepulauan. Kedua, melibatkan nakes dan tokoh masyarakat maupun tokoh agama untuk mengajak masyarakat. Tentu dengan persuasi dan membangun dialog.
“Biasanya, kita sabar mendengar dulu informasi apa yang mereka dapat. Kemudian kita ajak ngobrol dan persuasif pelan-pelan. Seperti biasanya langsung sadar dan mau divaksin,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: