Mengamen untuk Melawan

Mengamen untuk Melawan

Mengamen memang berisiko. Bisa ditangkap Satpol PP. Bisa juga ’’kena mental’’. Sebab, di jalan banyak yang mendiskriminasi para waria. Baik dengan melontarkan kata-kata kotor maupun tindakan yang tidak sopan.

Ditambah Perda DIY No. 1 tahun 2014 tentang Penanganan Gelandang dan Pengemis yang membuat para waria semakin resah. Menurut Jeny, waria kerap mendapatkan diskriminasi juga dari aparat penegak hukum. Pengamen waria selalu menjadi target razia Satpol PP. Padahal, jumlah pengamen laki-laki dan perempuan lebih banyak.

“Kita diuber-uber. Ketika menangkap juga secara kemanusiaan kurang. Mereka datang mengepung seakan-akan kami teroris dan menangkap secara premanisme,” cerita Jeny. 

Jeny bercerita, pernah suatu kali para pengamen waria harus baku hantam dengan Satpol PP.  Seharusnya pemerintah tahu akan keberadaan Iwayo, Al-Fatah, dan Kebaya. Untuk kemudian mereka sosialisasikan terkait Perda itu.

Menurut Jenny, masyarakat terlalu melihat sisi buruk dari pengamen waria. Namun, tidak melihat kebaikan yang pernah dilakukan kaum transpuan. Seperti ketika membantu pemulangan anak jalanan dan memberikan bantuan sosial kepada korban-korban bencana.

Kini, Jeny sudah jarang mengamen. Sebulan hanya 7-8 kali. Sebab, ia lebih aktif di komunitas-komunitas untuk memberdayakan kawan waria. Ia juga sering membantu teman-teman waria yang mengalami kesulitan. Seperti ketika mereka ditangkap Satpol PP maupun untuk mengurus KTP. 

Jeny juga menemukan aktivitas baru. Ia sedang merintis usaha tas online. Namanya, Miss Jeny Inclusive Product. Dari pembuatan pola hingga produksi, dilakukan secara mandiri di kamar kosnya.

“Saya bersyukur dengan kegiatan positif bisa mengikuti berbagai program. Seperti kesehatan, advokasi, pemberdayaan ekonomi. Sehingga ada peluang bagi saya untuk memenuhi kebutuhan hidup saya di luar mengamen,” tutur transpuan asal Bandung itu. (Jessica Ester)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: