Mengamen untuk Melawan
Rully Malay adalah waria yang eksklusif. Ia pernah menjadi PNS, masuk partai politik, dan diundang ke Belanda untuk membawa seni tari Indonesia. Namun, ia memilih untuk tinggal di jalan dan mengamen.
MENURUT Rully, mengamen adalah cara baginya untuk menampangkan eksistensi waria di muka publik. Mengamen menjadi bentuk perlawanan waria akibat ketidakacuhan pemerintah terhadap kehidupan waria.
Rully Malay berasal dari keluarga tentara. Ia lahir di Bone dan besar di Surabaya. Semenjak sisi perempuannya muncul, ia sering dibawa ke psikolog dan diajarkan olahraga keras seperti pencak silat oleh orang tuanya. Bahkan, ia sempat menjadi atlet dan mendapatkan medali emas di PON tahun 70-an. Namun, tetap saja feminin.
Orang tua Rully sadar. Itu tidak bisa diubah dan mereka harus bisa menerima apa adanya. Sebab, bagaimana juga, Rully adalah anaknya. Saudara Rully yang mayoritas menjadi tentara dan polisi juga menerimanya.
Rully melela (come-out) sebagai transpuan ketika masih SMP. Saat menjabat menjadi ketua OSIS, ia diminta untuk bermain biola di acara perpisahan. “Ketika itu, saya ditanya mau pakai baju apa. Saya pakai batik, konde, dan jarik. Guru juga memperbolehkan,” kata Rully.
Selulus SLTA, ia menjadi guru SD di Sumba Barat selama 10 tahun. Ia blak-blakan tentang identitasnya. Ia berbusana layaknya wanita selama mengajar. Di tengah menjadi guru, ia berhasil mendapat beasiswa untuk kuliah di ISI Yogyakarta.
Pada 1983, ia kembali lagi ke Jawa, Ia diberi kesempatan lagi untuk bersekolah bahasa Jepang selama 9 bulan. Lokasinya di Bogor. Kemampuan berbahasa Rully membuat ia sering bolak-balik ke Osaka dan Tokyo untuk mengikuti berbagai pendidikan. Ia juga piawai dalam bidang pertanian dan tanaman saat itu.
Pada 1987, ia diminta masyarakat Bone untuk ikut dalam salah satu partai politik dan terpilih jadi anggota legislatif. Namun, hanya bertahan selama 1 periode. Sebab, ia merasa tidak nyaman di dunia politik.
“Saya mengamati, mengenali dan mau menyelami kehidupan para waria. Bukan untuk tujuan riset dan penelitian. Ini murni kesadaran saya untuk berjuang bagi komunitasnya (waria) dan mendedikasikan diri dengan komitmen, sikap, dan tanggung jawab bisa membawa komunitas ini ke jenjang yang lebih baik,” jelas Rully.
Kurangnya skill yang dimiliki kaum transpuan, membuat mengamen menjadi alternatif bagi mereka untuk bertahan hidup, tanpa melakukan kriminal.
“Saya bersyukur bisa hidup dengan ngamen. Saya bisa belajar menahan emosi. Ini pekerjaan yang selalu dianggap negative, tapi orang enggak tahu bahwa dengan mengamen kita (waria) bisa survive,” kata Jeny, teman mengamen Rully.
Biasanya, Jeny mengamen sendirian. Namun ia beberapa kali juga duet dengan Rully. Jeny selektif jika memilih teman duo. Ia tidak suka dengan teman waria yang agresif saat mengamen. Menurutnya, pandangan negative orang terhadap waria bisa bertambah. “Kadang ada yang jijay, sukanya meluk. Orang kan jadi ill-feel. Padahal ngamen bukan untuk melakukan hal-hal seperti itu,” tambah Jeny.
Menurut Jeny, “konser” di jalan menambah jaringan untuk para waria. Pola pikir pun lebih luas. Sebab, tidak hanya fokus dengan diri sendiri dan komunitas, tetapi juga orang lain. Waria juga dapat menjalin hubungan baik dengan orang-orang yang ditemuinya di jalan. Seperti sesama pengamen atau pun karyawan-karyawan toko.
Jeny, kawan mengamen Rully Malay, yang juga aktif membantu para waria Yogyakarta.
(Foto: Jessica Ester untuk Harian Disway)
Waria juga ingin berbaur dengan masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: