NU Mobil Listrik

NU Mobil Listrik

--

Tidak perlu meladeni orang yang memancing-mancing air keruh. Kalau diladeni, malah akan besar kepala. Kegedhen rumongso. Biarlah mereka menggonggong, kafilah tetap berlalu memberdayakan umat, ikut memajukan negeri ini.

Terlalu banyak kita membuang-buang waktu dengan segala hal yang kurang bermakna. Itu pula yang menyebabkan kita sering tertinggal dengan negara lain. Dalam banyak hal. Apalagi tentang inovasi di bidang teknologi.

Mobil listrik, misalnya. Satu dekade lalu sejumlah anak bangsa telah menggagas produksi mobil listrik. Mobil asli buatan Indonesia. Bukan racikan dari luar. Riset dan uji coba telah dilakukan banyak pihak. Termasuk Dahlan Iskan yang saat itu menteri BUMN.

Sayang, inisiatif tersebut mentok di tengah jalan. Sebab, kita kurang percaya diri. Juga, karena lebih suka gaduh soal politik. Inovasi pun menjadi isu politik. Bahkan, inisiatif itu membawa korban. Pembuatnya masuk penjara. Tak peduli ada kesaksian yang tak masuk akal: mempersoalkan emisi mobil listrik.

Kini hati saya selalu terusik setiap melihat gencarnya promo mobil listrik yang mulai menyasar pasar Indonesia. Tapi, semuanya dari luar. Bahkan, pemain otomotif baru dari Tiongkok pun ikut berebutan. Bersaing dengan negara penghasil otomotif seperti Jepang dan Korea.

Dalam banyak hal, kita memang masih masuk level bangsa pembelanja. Lebih suka mengambil yang dari luar. Belum percaya diri sebagai bangsa pemroduksi. Obat-obatan, farmasi, bahkan vaksin. Ribut dulu setiap kali ada anak bangsa yang berinisiatif.

Soal paham keagamaan pun lebih suka yang datang dari luar. Seperti mereka yang suka membidah-bidahkan praktik agama yang telah mempribumi di negeri ini. Dengan menganggap mereka sesat. Bahkan, sampai sebutan kafir segala.

Padahal, paham keagamaan yang berkembang di Indonesia telah terbukti bisa menyatu dengan masyarakatnya. Menjadi solusi untuk pemersatu bangsa yang beragam dengan paham dan keyakinan yang berbeda-beda.

Ulama besar bangsa ini telah mewarnai khazanah keagamaan di seluruh dunia. Banyak kitab karya mereka yang masih terkenal hingga sekarang. Mereka diakui sebagai ulama yang menjadi rujukan bagi umat di seluruh dunia. Menjadi guru di pusat betemunya umat Islam seluruh dunia di Makkah dan Madinah.

Kalau belum bisa memproduksi mobil listrik sendiri dan mengekspornya, saatnya kita mengekspor gagasan. Misalnya, gagasan paham keagamaan yang bisa mempersatukan keyakinan yang beragam. Seperti paham keagamaan NU yang telah terbukti bermakna bagi persatuan Indonesia.

Kini banyak industri mobil listrik baru di seluruh dunia. Menjadi target perbaikan iklim dan bagian kemajuan teknologi yang tak mungkin bisa dihadang. Namun, industri mobil yang sudah mapan akan lebih gampang diterima pasar. Sebab, ia sudah menancapkan kepercayaan konsumennya.

Demikian juga NU. Ia telah membangun paham ke-Islam-an yang bisa mendorong perdamaian dunia. Dengan Islam ramahnya. Bukan Islam yang bisa memancing bentrokan berdarah-darah.

Seperti tren mobil listrik, NU lebih gampang diterima dan dipercaya saat mengekspor gagasan pahamnya. Karena sudah terbukti kiprahnya dan di Indonesia. Rasanya saatnya menjadi pengekspor gagasan. Bukan lagi pengimpor.

Dunia perlu berubah dalam memandang Islam. NU bisa berperan untuk mengubahnya. Ketika kita belum bisa mengekspor mobil listrik, paling tidak mengekspor gagasan yang negara lain belum punya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: