Epidemiolog: Naik Pesawat Tetap Harus PCR

Epidemiolog: Naik Pesawat Tetap Harus PCR

PEMBERLAKUAN PPKM berlevel diperpanjang hingga 15 November. Jawa Timur masih bertahan di PPKM level 1. Dan terdapat lima daerah yang masuk level 1. Di antaranya, Kota Surabaya, Kota Mojokerto, Kota Blitar, Kota Madiun, dan Kota Pasuruan.

Lalu, ada 9 daerah yang masuk level 2 dan tersisa 23 daerah yang masih level 3. Kini, Jawa Timur juga menjadi provinsi yang kasus aktifnya paling rendah se-Jawa. Yakni mencapai 447 kasus. Yang paling banyak Jawa Tengah dengan 1.885 kasus aktif Covid-19.

“Ini sudah sangat jauh apabila dibandingkan dengan puncak kasus pada Juli lalu. Bisa sampai 8 ribu kasus. Sekarang, dalam beberapa hari terakhir penambahan kasus stabil di angka 60 hingga 100 kasus per hari,” ujar Juru Bicara Satgas Covid-19 Makhyan Jibril, kemarin (2/11).

Beberapa aturan anyar terkait pembatasan kegiatan masyarakat pun diterbitkan. Yakni tertuang dalam Instruksi Mendagri No 57 tahun 2021. Salah satunya, yang paling menjadi sorotan beberapa hari belakangan: syarat penerbangan domestik.

Kini, setiap pesawat diperbolehkan mengangkut penumpang dengan kapasitas 100 persen. Sebelumnya, sejak 24 - 31 Oktober, penumpang pesawat wajib menyertakan hasil negatif tes PCR. Lalu, kebijakan itu menuai protes dan kritik dari masyarakat.

Akhirnya, diubah lagi pada 1 November, yakni syarat penerbangan domestik boleh pakai hasil tes antigen. Kemarin, diperbarui lagi dengan dua jenis syarat. Pertama, penumpang yang sudah divaksin dua dosis boleh memakai tes antigen. Kedua, penumpang yang masih divaksin satu dosis wajib menyertakan tes usap PCR.

Epidemiolog Windhu Purnomo turut menanggapi kebijakan tersebut. Menurutnya, transportasi umum yang memuat 100 persen kapasitas penumpang harus benar-benar diperhatikan. Sebab, rawan terjadi pelanggaran terhadap protokol kesehatan (prokes).

“Kalau sudah penuh penumpang itu artinya aturan jaga jarak sudah dilanggar. Padahal itu yang penting dan sekarang nggak dipakai lagi,” kata dokter lulusan Universitas Airlangga pada 1982 itu. Maka, pelanggaran prokes itu harus diganti dengan satu hal. Yakni dengan kepastian bahwa seluruh penumpang tidak sedang terkonfirmasi positif Covid-19.

“Harus tes PCR, karena kalau tes antigen itu masih banyak false negatifnya,” tegas Windhu. Artinya, presisi pembacaan keterpaparan oleh antigen masih kalah jauh ketimbang PCR. Dikhawatirkan banyak orang yang terkonfirmasi positif tidak terbaca oleh tes antigen. Maka, penularan di dalam pesawat tak dapat dihindarkan meski semua penumpang sudah divaksin.

Sebab, imbuhnya, vaksin tidak berfungsi untuk mencegah penularan. Orang yang sudah divaksin, bahkan dosis kedua sekalipun, masih punya kemungkinan terpapar Covid-19. Vaksin hanya berfungsi untuk meringankan gejala ketika terpapar. Menjamin biar tidak sampai gejala berat. 

“Itu yang tidak dipahami banyak orang. Vaksin bukan untuk mencegah penularan. Tapi kalau tes PCR gunanya biar yang ketahuan positif tidak keluyuran dan segera melakukan isolasi,” jelasnya.

Menurutnya, tes antigen boleh dipakai. Asal diimbangi dengan peningkatan surveilans penelusuran kasus. Dimaksimalkan melebihi sebelumnya. Mengingat sebentar lagi jelang libur natal dan tahun baru. Mobilitas masyarakat bakal membeludak berkali-kali lipat dari biasanya.

Surveilans itu menyangkut tracing dan testing semua kontak erat. Sejauh ini, kata Windhu, jumlah tracing Jawa Timur masih terbilang cukup bagus. Namun, upaya testing sangat buruk. Perbandingannya anjlok. Padahal, dua upaya itu tidak dapat dipisahkan.

Data yang ada menunjukkan, jumlah kasus aktif yang dilaporkan masih sama besarnya dengan jumlah kasus rawat inap di rumah sakit. Padahal, rasio idealnya tidak boleh sama. Kasus rawat inap di RS maksimum tidak boleh lebih dari 20 persen total kasus aktif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: