Banjir Bandang Kota Batu Harus Dicarikan Solusi

Banjir Bandang Kota Batu  Harus Dicarikan Solusi

 

JAWA TIMUR berduka. Kota Batu baru saja dihantam banjir bandang Kamis (4/11) sore. Itu akibat hulu daerah aliran sungai (DAS) Brantas di lereng Gunung Arjuno tidak bisa menampung air hujan. 

Banjir bandang itu berdampak pada sejumlah desa di Kecamatan Bumiaji yang dialiri Sungai Brantas. Di antaranya, Desa Sumber Brantas, Desa Bulukerto, Desa Tulungrejo, Desa Padangrejo, dan Desa Sidomulyo.

Luapan air sungai itu menghanyutkan 15 orang. Hingga kemarin (5/11), baru 4 orang yang ditemukan. Sisanya, 11 orang, masih dinyatakan hilang. ”Terpantau arus anak Sungai Brantas di Desa Sumber Brantas mengalir deras membawa material lumpur, potongan pohon, puing bangunan, dan batu,” ujar Kasi Kedaruratan dan Logistik BPBD Kota Batu Achmad Choirur Rochim dalam keterangan tertulisnya kemarin.

Peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi  Kebencanaan dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember Amien Widodo mengatakan, bencana terkait iklim (hidrometeorologi) sangat sering terjadi di Jawa Timur. Tidak hanya banjir, tetapi juga longsor, puting beliung, hingga ombak tinggi.

Menurutnya, BPBD kabupaten/kota maupun provinsi harus mampu melakukan upaya pencegahan. Mengingat, bencana semacam itu hampir terjadi setiap tahun. ”Mestinya demikian. Harus ada sesuatu yang dipersiapkan. Harus ada penguatan dalam mitigasi. Karena biaya mitigasi itu sangat murah ketimbang hilangnya nyawa seseorang,” jelasnya.

Banjir terjadi bukan hanya karena faktor alam. Melainkan juga karena ulah manusia yang sembrono. Dulu, kata Amien, 80 persen air hujan di daerah pegunungan bisa terserap dengan baik. Sebab, hutan dan pepohonan masih sangat lebat. Air yang terserap bakal keluar menjadi sumber mata air mineral.

Namun, seiring waktu berubah. Terjadi pergeseran fungsi lahan. Hutan digunduli untuk dijadikan sawah, permukiman, hotel, dan segala pernak-pernik pariwisata. Maka, 80 persen air hujan tadi tidak lagi terserap dengan baik. Mengalir mencari jalan air dan membawa tanah ke sungai.

”Kalau curah hujan tinggi, otomatis terjadi banjir bandang. Padahal, ini masih dampak dari musim hujan, belum La Nina, lho,” paparnya.

Solusinya, air hujan tidak boleh dibiarkan mengalir bebas. Tapi, harus diarahkan langsung masuk ke aliran sungai.

Kesalahan selama ini terletak pada cara penyelesaian. Yakni, hanya melakukan upaya penyelesaian tanggap darurat. Tidak ada upaya penyelesaian yang dirancang sebelum banjir datang. Itulah yang mengakibatkan banjir menjadi langganan.

Apalagi, ada faktor-faktor yang selama ini luput diperhatikan. Misalnya, perubahan di bagian hulu yang makin luas sehingga erosi juga makin luas, pendangkalan sungai kian tebal, jumlah permukiman di area sekitar sungai juga terus bertambah.

”Bahkan, rumahnya makin besar dan sampah yang dibuang juga kian banyak. Akibatnya, saat hujan lebat, kapasitas sungai tidak bisa menampung. Maka, meluaplah sungai dan akan terus meluas sebagai banjir,” jelas Amien.

Anggota Tim Pusat Studi Kebencanaan, Mitigasi, dan Lingkungan Universitas Negeri Malang Heni Masruroh berpendapat, banjir bandang disebabkan pengelolaan DAS di bagian hulu yang kurang baik. ”Bentuk DAS sangat berpengaruh terhadap potensi banjir. DAS yang berbentuk lebar bagian hilirnya memiliki potensi banjir yang besar jika dibandingkan dengan DAS bentuk memanjang,” ungkapnyi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: