Surabaya Global Mengakar

KOMUNITAS Pusat Olah Suara Surabaya (POSS) memeriahkan agenda bulanan FPKS di Plaza Balai Pemuda Senin malam, 21 Juli 2025.-ARIF AFANDI UNTUK HARIAN DISWAY-
TADI MALAM, 21 Juli 2025, saya diundang Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS). Itulah forum para seniman dan budayawan yang tampaknya mulai risau dengan perkembangan kesenian di kotanya. Sudah beberapa kali menggelar agenda rutin setiap bulan.
Saya diminta memberikan orasi kebudayaan. Temanya cukup berat: Membangun Ekosistem Kesenian yang Sehat di Kota Surabaya.
”Sampean kami minta bicara karena saat menjadi wakil wali kota Surabaya banyak menggelar event kesenian,” kata Jil Kalaran, salah seorang penggagas forum itu.
BACA JUGA:Reposisi Surabaya
BACA JUGA:Surabaya Nir-hub
Saya bersedia bukan karena pernah menjadi bagian dari kepemimpinan pemerintahan kota ini. Melainkan, lebih karena menghargaai semangat teman-teman seniman yang begitu besar. Mereka ingin menggeliat kembali. Setelah beberapa lama terhenti. Di saat organisasi kesenian di Surabaya susah dikonsolidasi.
Pertanyaan pertama, bagaimana ekosistem kesenian Surabaya harus dibangun? Tampaknya, menjadikan Surabaya sebagai simpul penting dalam ekosistem kesenian global adalah jalan yang masuk akal. Itu akan melengkapi identitas kita sebagai kota perjuangan, kota industri, dan kota dagang.
Sebetulnya, sudah sejak dulu Surabaya adalah simpul ekosistem global. Sejak zaman kerajaan sampai zaman kolonial. Bahkan, kota ini menjadi kota perdagangan yang berkembang lebih pesat ketimbang Batavia. Konon, diler Mercedes-Benz pertama bukan di Batavia, melainkan di Surabaya.
BACA JUGA:Merdeka dari Surabaya
BACA JUGA:Menghidupkan Seni Surabaya
Kesenian bukan sekadar ekspresi keindahan. Ia adalah cermin jiwa kolektif. Ia merekam perasaan zaman. Sekaligus menyalakan obor masa depan. Kesenian adalah refleksi peradaban yang dinamis yang terus berkembang sesuai dengan denyut perubahan.
Karena itu, menurut saya, peradaban tak mungkin dipurifikasi. Seperti halnya sebagian para agamawan yang ingin melakukan purifikasi dalam Islam. Peradaban tak bisa dimurnikan dengan nostalgia yang beku. Misalnya, adanya gagasan penggunaan kembali aksara Jawa dan menghidupkan radio Bung Tomo.
Mengapa demikian? Ya karena peradaban merupakan sesuatu yang dinamis. Sesuatu yang tumbuh dari dialog. Dari perjumpaan. Dari keberanian untuk berubah tanpa harus kehilangan akarnya. Berubah dan mengglobal dengan tetap mengakar.
BACA JUGA:The Godfather Seniman Surabaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: