Koleksi Buku Abad ke-18 sampai Novel Hot
Ada dua nasib bagi peristiwa yang penting dan berpengaruh - melingkupi ruang, waktu, dan manusia: “disejarahkan” atau dibuang.
HARRI Gibran dengan usaha toko buku kecilnya, berupaya untuk melestarikan memori Bangsa Indonesia. Entah yang indah maupun kelam.
Pandemi membuahkan hikmah untuk Harri. Sebab, kini ia dapat penuh waktu berinteraksi dengan “makhluk” favoritnya. Yakni, buku.
Sebelumnya, ia berprofesi sebagai copywriter di dunia kreatif. Ia menulis advertorial naskah iklan. Begitu pandemi, perusahaannya gulung tikar.
Dua tahun terakhir ini ia bergelut di dunia bisnis buku. Awalnya online. Setahun ini, alumnus Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, telah mampu membuka tempat kecil di Pasar Gembrong, Cipinang.
Kiosnya sederhana. Tapi, menarik perhatian. Lampu-lampu kuningnya menyoroti buku-buku tua yang berbaris di dalam rak kayu. Rak bagian bawah untuk menampung buku vintage. Bagian atas, kebanyakan edisi baru dan lebih modern.
Namanya Toko Buku Balzac. Harri terinspirasi dari nama seorang novelis dan dramawan asal Prancis, Honoré de Balzac. Yang ia jual adalah buku-buku langka tentang ke-Indonesia-an. Ada yang impor dan lokal. Rata-rata umurnya lebih dari seabad.
Dengan topi khas Belanda yang dipakainya, ia mulai “memamerkan” koleksi buku-buku kunonya.
Buku tentang Batavia berangka tahun 1783 yang ditulis oleh Petrus Conradi.
(Foto: Jessica Ester untuk Harian Disway)
Buku pertama, langsung membuat saya takjub.
Warnanya cokelat dan sudah usang. Jilidnya juga sudah agak rapuh. Baunya khas buku tua. Buku tentang Batavia itu lahir pada 1783. Penulisnya, Petrus Conradi asal Belanda.
“Ini super rare,” kata Harri Purnomo, nama asli Harri Gibran, sambil membuka buku terkolot di tokonya. Buku itu juga kebanggaan Harri. Cetakan lainnya hanya ada di Leiden.
Isinya berupa tulisan dan litografi tentang Jakarta zaman jebot. Foto dalam buku sepenuhnya digambar dengan tangan. Tentu, saat itu belum ada kamera. Apalagi handphone.
Harri juga mengoleksi arsip dan dokumen bersejarah. Ia menjelaskan bahwa dahulu secara birokratis, kegiatan Belanda di Indonesia semua tercatat. Kemudian, dituangkan dalam Staatsblad (lembaran resmi). Dokumen itu dicetak terbatas.
Ia mengakui bahwa pasarnya tipis. Orang yang tertarik dengan buku-buku lama ini tersegmentasi. Berbeda dengan buku kekinian. Merawat buku yang usang itu sulit. Apalagi, ada yang bolong-bolong dimakan rayap.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: