Perjuangan di Balik Squid Game
Dalam pameran bertajuk Soerabaia Heroik Soerabaia Tempo Doeloe di The Progo 10 Tavern and Music, Surabaya, 20 seniman unjuk gigi memaknai perjuangan.
Bertema tentang perjuangan, para seniman ternyata sangat bebas menyampaikan pesan-pesan di baliknya. Tak melulu menohok langsung. Seperti Budi Bi, alumni Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Surabaya yang memamerkan tiga karya.
Ia membawa tema tersebut justru lewat persoalan serial populer Squid Games sebagai representasi perjuangan. Menurutnya, semua karakter di Squid Game sedang berusaha untuk hidup melawan tantangan yang ada.
Budi Bi dan lukisannya tentang Squid Game yang sedang nge-tren. (Ajib Syahrian Nor/Harian Disway)
Jadi bisa dikorelasikan dengan tema pameran. ”Tayangan ini kan lagi nge-tren jadi harapannya bisa memancing masyarakat awam untuk datang dan melihat-lihat pameran lalu mencari apa makan yang tepat untuk mereka sendiri,” kata Budi.
Saat melukis, Budi mengaku kalau ia ikut menonton tayangan itu. ”Ketularan anak-anak di rumah yang jadi pengikut setia drama asal Korea Selatan tersebut. Ada pesan bagus kok kalau dicerna,” terangnya dalam pameran yang berlangsung sampai 30 November 2021.
Beberapa lukisan yang dipajang di The Progo 10 Tavern and Music Surabaya. (Ajib Syahrian Nor/Harian Disway)
Sementara Andreanus Gunawan juga membawa tiga karya. Ia menampilkan logo pameran serta dua buah lansekap Kota Pahlawan pada tahun 1950-an. Tujuh gambar berukuran lebih kecil dari kebanyakan karya lain dihasilkan oleh Firman Andianto.
Pria yang akrab disapa Mantolek itu sengaja tampil beda dengan bikin sesuatu yang kecil. ”Ukuran tidak bisa jadi takaran dalam dunia seni. Mau besar atau kecil, semuanya sama. Tiga gambar saya buat untuk tokoh-tokoh penting sementara empat lain adalah lansekap sudut Kota Surabaya,” sebut Firman.
Ada satu gambar yang menurutnya paling emosional yaitu ketika ia menggambar sesosok guru semasa SMP. Pria tersebut jadi penyemangat bagi Firman untuk menekuni bidang seni. Sehingga ia bisa berkarya dan melanjutkan hidup dari ranah itu sampai sekarang.
Budi Melaniawan berfoto dengan apresiator yang melihat lukisannya. (Ajib Syahrian Nor/Harian Disway)
Budi Melaniawan hadir dengan karya tentang dua permainan masa kecil. Egrang dan terowongan. Ipeng, sapaan akrabnya, ingin membuka ingatan masa kecilnya yang dipenuhi aktivitas bersama teman-temannya.
”Kemarin diberi tahu untuk bikin karya tentang Surabaya tempo dulu. Pikiran saya langsung tertuju dengan permainan masa kecil yang pernah saya lakukan. Kan itu tergolong tempo dulu? Apalagi saya juga melakukannya di Surabaya,” canda Ipeng.
Di sisi lain, lukisan tersebut menjadi bentuk keprihatinan karena permainan tradisional anak-anak semakin sulit ditemui di era modern. Pamornya menurun karena mulai terkikis dengan video game di gawai maupun konsol. Diperparah dengan pandemi yang justru melarang anak-anak untuk bermain ke luar rumah.
Pingki Ayako Saputro yang menggambar tiga tempat di Surabaya. (Ajib Syahrian Nor/Harian Disway)
Pingki Ayako Saputro hadir dengan lukisan yang diselesaikan langsung atau sit-in painting. Ia menggambar tiga tempat di Surabaya. Di Balai Pemuda, Jalan Basuki Rahmat, dan Jalan Tunjungan. Semua dilakukan saat menyambut komunitas lukis dari Yogyakarta dalam kunjungan ke Kota Pahlawan.
”Saya biasanya menyelesaikan satu lukisan selama empat jam. Kadang kalau lagi ingin berlama-lama bisa lebih dari itu. Sampai bawa kotak makan karena pasti lapar dan tidak bisa kemana-mana,” katanya.
Karya yang ditampilkan untuk Soerabaia Heroik Tempo Doeloe diakuinya memang sudah dibuat sebelumnya. Tapi Pingki menyebutkan kalau ini adalah sebagian koleksi pribadi bertema Surabaya sehingga tetap layak untuk ditampilkan.
Karya Mantolek yang besarnya tak lebih dari telapak tangan orang dewasa. (Ajib Syahrian Nor/Harian Disway)
Menurut Andreanus, koordinatora cara, sebenarnya tak ada patokan khusus apa yang dilukis untuk pameran yang digelar dalam suasana Hari Pahlawan 10 November. ”Memang tidak ada pagar dalam berkarya. Semua diberi kebebasan meluapkan apa pun di dalam pikiran. Keberagaman inilah yang dicari,” katanya.
Temanya memang sudah ditentukan. Tapi pemaknaan serta penerapannya ke dalam lukisan sangat dibebaskan. Dari tema besar itulah ia berinisiatif menggelar pameran kolektif untuk memperingati hari besar itu.
”Kebetulan pandemi sudah mulai mereda. Ini cara agar rekan-rekan seprofesi kembali aktif berpameran. Serta meningkatkan animo masyarakat Surabaya terhadap kajian seni,” kata pelukis poster film di bioskop itu.
Namun dalam pameran, 20 seniman yang unjuk karya itu tetap bisa mengarahkan penikmat dalam tema pahlawan. Agar tak lupa pada perjuangan. ”Tampak ada perjuangan dalam berbagai perspektif serta Kota Surabaya pada masa lampau,” ujar pria yang akrab disapa Andre itu. (Heti Palestina Yunani-Ajib Syahrian)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: