Dikawal Afrizal, Dipuji Akmal, Diselamati Rhoma
Komunitas literasi Perlima yang berdiri pada 30 Maret merilis buku perdana. Judulnya unik. Covad-covid, Bungkusan Boy Band, dan Menunggu Kabar Baik. Dimentori sastrawan ternama Indonesia Afrizal Malna.
”Menulis adalah tindakan untuk mendokumentasikan kepedulian. Itu membahagiakan,” ujar Tjahjani Retno Wilis, ketua Perlima. Memang demikianlah. Ada 36 penulis yang bahagia mendokumentasikan pengalamannya dalam bentuk esai.
Menjadi buku setebal 240 halaman yang dikawal penulisannya oleh penyair kenamaan Afrizal Malna. Tiap orang menghasilkan satu tulisan kreatif dengan beragam tema. Mulai dari pandemi, realitas sosial, keseharian hingga merespons budaya Korea yang menjamur.
Tulisan dari 34 perempuan dan 2 laki-laki itu di antaranya membukukan pengamatan Fifin Maidarina tentang permainan tradisional yang semakin terkikis oleh perkembangan teknologi.
Ia menulis jenis permainan cublak-cublak suweng yang kini kalah populer dibanding smartphone. Fifin menunjukkan beberapa manfaat permainan tradisional itu. Bisa menyehatkan tubuh, membiasakan anak untuk patuh terhadap peraturan permainan, dan melatih sosialisasi serta kekompakan dalam bermain.
Sementara Dr Ence Noor mengambil tema pandemi dan menganalogikannya dengan filsafat Sun Tzu. Seorang jenderal perang dengan strategi dan pemikiran jitu, serta pemikir besar di era Tiongkok kuno.
Baginya, mengentaskan pandemi harus dilakukan dengan cepat. Layaknya sebuah pertempuran. Apabila pertempuran berlangsung dalam kurun waktu lama, maka akan mengakibatkan kerugian, baik secara materi dan moral. Jadi harus sesegera mungkin mengambil tindakan-tindakan untuk mengatasi pandemi.
Sementara Wina Bojonegoro, pendiri Perlima, mengisahkan pengalamannya ketika berada dalam situasi pandemi. Saat segala jenis usaha mengalami keterpurukan, Wina mengumpulkan ibu-ibu di daerah tempat tinggalnya untuk berwirausaha.
”Ibu-ibu di Dusun Semambung, Pasuruan, itu saya ajak mengolah abon ikan. Produk yang diberi nama Bonika tersebut mampu memberikan pemasukan bagi para ibu-ibu di sana. Itu membahagiakan banget,” katanya.
Dalam perilisan lewat pertemuan via Zoom pada 30 Oktober lalu, Perlima mengundang Akmal Nasery Basal. Sang Pencerah, diadaptasi oleh sutradara Hanung Bramantyo menjadi sebuah film layar lebar.
Mantan jurnalis sekaligus sastrawan itu mengapresiasi keseluruhan buku. Mulai dari jenis huruf, pemilihan spasi, sampai desain cover buku yang dinilainya cantik. ”Saya sebagai ABG atau Angkatan Baru Gocap, sangat nyaman untuk membacanya,” ujarnya.
Di antara tulisan ia tertarik dengan tulisan karya Zakiyatul Mufidah. Esai Persoalan Bungkus Makanan: Industri Budaya K-Pop, Konsumerisme dan Ekspresi Identitas Generasi Z itu menangkap fenomena bidang usaha yang memasukkan grup boy band BTS dalam produknya.
Termasuk berbagai bungkus makanan. Maraknya K-Pop dan popularitas BTS membuat para generasi Gen-Z, yang lahir pada 1995-2010, banyak mengunggah foto produk makanan kemasan tersebut dalam media sosialnya.
”Sebagian dari judul buku, Bungkusan Boy Band, merepresentasikan tulisan Zakiyatul tentang fenomena BTS dan budaya populer lainnya, Korea Selatan telah mendikte dunia. Bahkan mampu menggeser kebudayaan Jepang dan Amerika,” ujar penulis novel Imperia dan Sang Pencerah itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: