Defisit Anggaran

Defisit Anggaran

Harian Disway - HARI ini APBD Pemkot Surabaya 2022 akan digedok. Fokus anggaran dan belanja pemkot tahun depan adalah pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Target belanja pun ditetapkan cukup besar, Rp 10,17 triliun. Meski, target pendapatannya ”hanya” Rp 9,30 triliun.

Melihat postur ABPD itu, tampak bahwa pemkot akan gencar melakukan pemulihan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Tak peduli pendapatannya tidak  cukup membiayai belanjanya, sehingga mengalami defisit anggaran. Bahkan, defisit yang direncanakan itu mencapai Rp 860 miliar.

Konsep defisit anggaran itu sama dengan yang diterapkan pemerintah. Tahun ini, misalnya, pemerintah memproyeksikan defisit hingga 5,7 persen dari PDB. Data di Kementerian Keuangan menunjukkan, per September lalu, defisit anggaran telah mencapai Rp 452 triliun. Pendapatan negara  hanya Rp 1.354 triliun, sedangkan belanja negara hingga September lalu mencapai Rp 1.806,8 triliun.

Tentu defisit anggaran seperti itu tidak baik. Ibarat rumah tangga, pengeluaran lebih banyak daripada pendapatan. Berarti kepala rumah tangga harus menutup kekurangan belanja itu dari utang, penjualan aset, atau jika punya piutang, ditutup dari piutang terbayar. Itu bisa menyebabkan kepala rumah tangga kalang kabut menambah pendapatan. Belum lagi jika ternyata proyeksi pendapatannya meleset dari yang diharapkan.

Secara konsep, defisit anggaran bisa saja baik. Pada perusahaan, defisit anggaran yang kemudian ditutup dengan utang justru bisa menjadi leverage. Bisa menggerakkan perusahaan sehingga mengungkit omzet dan akhirnya meningkatkan laba atas modal sendiri (return on equity). Tentu saja, jika biaya utang lebih rendah daripada penambahan pendapatan dari adanya utang itu.

Konsep tersebut mirip pemikiran kelompok Keynesian. Mereka berpendapat bahwa defisit anggaran berpengaruh baik terhadap perekonomian. Mereka mengasumsikan bahwa pelaku ekonomi mempunyai pandangan jangka pendek (myopic), hubungan antargenerasi tidak erat, serta tidak semua pasar selalu dalam posisi keseimbangan. Contohnya,  ketidakseimbangan terjadi di pasar tenaga kerja. Selain itu, dalam perekonomian selalu terjadi pengangguran.

Menurut kaum Keynesian, defisit anggaran akan meningkatkan pendapatan,  kesejahteraan, dan akhirnya pada konsumsi. Defisit anggaran yang dibiayai dengan utang akan menurunkan pajak saat ini dan meningkatkan pendapatan yang siap dibelanjakan. Peningkatan pendapatan yang siap dibelanjakan akan meningkatkan konsumsi dan sisi permintaan secara keseluruhan.

Jika perekonomian belum dalam kondisi kesempatan kerja penuh, peningkatan sisi permintaan akan mendorong peningkatan produksi. Pendapatan nasional pun akan meningkat. Pada akhirnya, peningkatan pendapatan nasional akan mendorong perekonomian melalui efek multiplier Keynesian.

Karena defisit anggaran meningkatkan konsumsi dan tingkat pendapatan sekaligus, tingkat tabungan dan akumulasi kapital juga meningkat. Karena itu, secara keseluruhan, defisit anggaran dalam jangka pendek akan menguntungkan perekonomian.

Secara sederhana, utang akan digunakan pemerintah untuk membiayai perekonomian seperti infrastruktur. Peningkatan infrastruktur itu akan merangsang tumbuhnya usaha-usaha baru yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pajak. Jika penggunaan utang tersebut tepat pada sektor yang memiliki angka multiplier cukup besar, dampaknya terhadap perekonomian akan besar pula.

Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi. Dalam jangka panjang, kondisi seperti itu akan meningkatkan pendapatan pemerintah dari pajak. Baik dari pajak perusahaan, pajak pendapatan orang pribadi, maupun pajak yang dibayar konsumen seperti pajak pertambahan nilai.

Logika seperti itu tentu ada dalam tataran konsep. Dalam tataran praktis, kita sudah merasakan bahwa tingginya utang pemerintah tidak linier dengan kesejahteraan masyarakat. Utang yang saat ini sudah mendekati 40 persen terhadap PDB tak membuat kemiskinan menurun signifikan. 

Kini, akibat pandemi Covid-19, jumlah penduduk miskin diperkirakan mendekati 28 juta. Per Maret 2021, jumlahnya mencapai 27,54 juta atau mencapai tingkat kemiskinan 10,14 persen. Kenaikan penduduk miskin mendekati angka 1,5 juta orang (BPS, 2021).

Dengan fakta seperti itu, Pemkot Surabaya harus berhati-hati menerapkan konsep defisit anggaran. Jika salah mengelola, yang terjadi justru kesulitan keuangan di masa depan. Apalagi jika sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) tidak bisa diharapkan lagi karena kondisi sudah mendekati normal atau new normal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: