Gelisah bersama WS Rendra
Banyak orang mengenal musikalisasi puisi atau teatrikalisasi puisi. Namun Bengkel Muda Surabaya menggelar dramatisasi puisi yang jarang ditampilkan lagi. Seperti apakah dramatisasi puisi itu?
Bengkel Muda Surabaya (BMS) merupakan kelompok seniman ternama dan memiliki sejarah panjang di Kota Surabaya. Kelompok tersebut kerap menelurkan seniman-seniman besar yang bahkan gaungnya menasional.
Tak terbatas dalam seni teater. Sebagai komunitas seniman, BMS menampung segala jenis seni. Termasuk sastra. ”Sampai saat ini begitu. Kami terus berkreasi, bahkan me-refresh karya-karya pendahulu kami,” ungkap Heroe Budiarto, ketua BMS.
Salah satu bentuk refresh tersebut adalah upaya menampilkan kembali dramatisasi puisi. Yakni membaca puisi kemudian memadukannya lewat gerak dan pengadeganan. Terdapat konsep teatrikal sebagai bentuk dari interpretasi atau penerjemahan sebuah karya puisi.
”Saat kami bongkar arsip pementasan para anggota BMS senior, mereka banyak melakukan dramatisasi puisi. Bentuknya berbeda dengan musikalisasi puisi atau teatrikalisasi puisi,” ujarnya.
Musikalisasi puisi merupakan bentuk melagukan puisi atau menginterpretasikan makna puisi lewat nyanyian. Sedangkan teatrikalisasi puisi, cenderung memaknai puisi, mengadaptasinya kemudian menuangkannya sebagai naskah dan dipentaskan.
Dramatisasi puisi ala BMS adalah bentuk teatrikal memaknai puisi, namun tidak mengubah struktur puisi sama sekali. Tetap dibaca, namun dengan penghayatan dan pemaknaan dalam gerak yang dilakukan beberapa orang.
Heroe dan kawan-kawan pun terinspirasi. Apalagi ketika itu BMS sedang ditunjuk untuk melakukan performance art dalam perhelatan Anugerah Sutasoma di Isyana Balroom Hotel Bumi Surabaya pada 21 Oktober lalu.
Tak hanya itu BMS sekaligus menerima penghargaan Sutasoma sebagai komunitas sastra kawakan. ”Proses persiapan sekitar dua bulan. Latihannya di halaman Balai Pemuda Surabaya. Ada tujuh orang aktor yang terlibat, termasuk saya,” ungkap pria 51 tahun itu.
Para seniman itu memilih puisi WS Rendra yang terkumpul dalam buku antologi puisinya berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi. Pemilihan puisi tersebut mengandung maksud untuk merespons kegagapan kaum muda di tengah arus zaman serba digital.
Kecanggihan teknologi dan massifnya pembangunan membuat generasi muda berjalan ke arah sikap individualis, tak dapat bersosialisasi dan semakin melupakan tradisi serta budaya bangsanya. ”Adegan-adegan dalam pementasan kami menginterpretasikan makna dalam puisi-puisi WS Rendra tersebut,” ujar seniman asli Surabaya tersebut.
Puisi-puisi WS Rendra yang dibawakan antara lain: Sajak Burung-burung Kondor, Sajak Anak Muda dan Orang-orang Miskin. Mereka memberi judul pementasan: Yang Tertinggal. Dimainkan tujuh orang. Aktor oleh Siti Chatirah, Helen, Ndindy, Otoks, dan Heroe. Tiga pemusik yakni Ipung pemain rebana, Dave memainkan gitar sertaa Jarmani, pengajar di UWK, sebagai pemain biola.
Heroe Budiarto mengekspresikan makna puisi dengan ekspresi dan gerak, sedangkan Ndindy membacakan puisi ”Sajak Burung-Burung Kondor” WS Rendra penuh penghayatan. (Heroe Budiarto untuk Harian Disway)
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Timur itu, para aktor tampil dengan berpakaian hitam-putih. ”Dalam pementasan, sekecil apa pun, termasuk kostum yang dikenakan aktor mengandung makna tertentu. Hitam-putih melambangkan kehidupan. Gelap-terang, baik-jahat, seperti filosofi Yin-Yang atau poleng dalam budaya Bali,” terang Heroe.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: