Gelisah bersama WS Rendra

Gelisah bersama WS Rendra

Tampak Helen berada di bagian paling belakang. Tiga aktor perempuan di tengah dengan pakaian putih, sedangkan dua aktor pria, Heroe dan Otoks berada di depan. Pementasan dibuka dengan nyanyian merdu yang dibawakan Helen.

Para aktor bergerak dengan ayunan tubuh dan tangan. Tak selaras satu sama lain seperti sebuah tarian, namun hal itu seakan melambangkan gerak hidup yang dinamis. Tak selalu bergerak ke satu arah, serta melambangkan sifat-sifat manusia yang beragam.

Masing-masing aktor memegang kertas hitam semacam kertas linen. Dalam kertas hitam tersebut tertempel kertas putih berisi teks puisi. Di sela gerak, Ndindy membacakan puisi WS Rendra berjudul Sajak Burung-burung Kondor.

Puisi tentang kegelisahan WS Rendra terhadap kesenjangan sosial, antara petani sebagai penghasil produk yang tetap miskin, berbanding terbalik dengan bos-bos atau cukong-cukong pemilik perusahaan yang semakin kaya.

Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan/para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, dan menjawab dengan mengirim kondom. Begitulah potongan puisi itu.

Diwarnai dengan musik etnik yang memadukan sedikit distorsi dari gitar elektrik yang dimainkan Dave, alunan biola oleh Jarmani serta sesekali dentum rebana terdengar. Bukan sebagai penentu tempo, melainkan aksentuasi musikal. Seperti suara ledakan, atau jerit para kaum kusam merespons sebuah keadaan yang menghimpit.

Ndindy dan Siti Chatirah (depan), Otoks dan Heroe Budiarto (belakang) kompak mendramatisasikan makna puisi itu yang membangun suasana dan isi pertunjukan menjadi bernyawa. (Heroe Budiarto untuk Harian Disway)

Siti Chatirah membacakan bait keempat dalam sajak WS Rendra. Di hari senja mereka berubah menjadi onggokan sampah, dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai. Siti membacanya sambil menjatuhkan tubuhnya ke panggung. Dia mengangkat tangan dan menyuarakan rangkaian kalimat selanjutnya. Dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Helen membawakan bait selanjutnya dengan nyanyian. Beribu-ribu burung kondor/Berjuta-juta burung kondor/Bergerak menuju gunung tinggi. Alunan musik yang dimainkan ketiga musisi mengalun, seperti irama tempo dulu dengan iringan minimalis. Nuansa mencekam, sedih begitu terasa.

Adegan pertama pembacaan Sajak Burung-burung Kondor tersebut ditutup dengan para aktor yang saling mendekat. Mereka melihat teks puisi yang dibawa tiga aktor perempuan paling depan.

Selanjutnya dalam pembacaan puisi Sajak Anak Muda, musik mengalir kencang. Pukulan rebana rancak berdentum-dentum dalam tempo cepat. Seperti gerak kehidupan perkotaan yang serba cepat dan terburu-buru.

Melambangkan kaum muda masa kini yang memilih berpikir dan berbuat untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Tanpa memedulikan wajah-wajah nestapa di sekitarnya.

Gesture aktor dalam adegan tersebut terasa tertekan. Seperti boneka kayu yang dikendalikan manusia. Mengesankan manusia di zaman modern yang segala tingkah lakunya dipermainkan oleh teknologi digital.

Sajak WS Rendra yang dipilih memiliki relevansi dalam kehidupan masa kini. Para aktor, termasuk aktor pria bergantian membacanya. Adegan dalam pembacaan puisi Orang-orang Miskin, irama musik dimainkan dengan gaya blues. Melodi-melodi ratapan panjang bak penderitaan kaum budak masa lalu yang menciptakan irama tersebut.

Para pembaca puisi diiringi dengan nyanyian Helen dengan raungan menjangkau oktaf-oktaf tinggi. Aktor perempuan membaca bait pamungkas puisi dengan teriakan: O Kenangkanlah: orang-orang miskin juga berasal dari kemah Ibrahim! Dan Yang Tertinggal pun meninggalkan kesan mendalam. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: