Oposisi Sunyi
Harian DIsway - ”OPOSISI telah mati,” kata Fahri Hamzah. Ia menyindir mantan partainya, PKS (Partai Keadilan Sejahtera), yang dianggapnya sudah tidak lagi bisa memerankan diri sebagai partai oposisi sepeninggalnya.
Sepeninggal Fahri, PKS sepi. Oposisi pun sepi dan senyap. Suara dari PKS nyaris tidak terdengar. Kalaupun terdengar, hanya lamat-lamat. Kalaupun terdengar, tidak digubris pimpinan sidang. Kalaupun ada, keberadaan oposisi dianggap tidak ada oleh pimpinan sidang. Interupsi dibaikan dan palu tetap diketok tanda keputusan sah.
Oposisi mati dan DPR menjadi sunyi, hening senyap disergap spiral keheningan. Itulah fenomena ”spiral of silence” yang ditengarai oleh ilmuwan politik Jerman Elizabeth Noelle-Neumann. Sebuah kelompok sosial yang mayoritas akan mengeksklusi dan mengisolasi kelompok minoritas karena opininya yang berbeda.
Dalam teori spiral of silence, lingakaran keheningan terjadi karena kelompok mayoritas tidak menghendaki adanya suara yang berbeda. Semua harus satu suara, satu opini. Suara yang berbeda akan diisolasi dan dieksklusi.
Menurut Noelle-Neumann, manusia secara alamiah takut akan eksklusi dan isolasi. Manusia secara alamiah tidak ingin menjadi liyan. Karena itu, sanksi sosial berupa eksklusi dan isolasi akan menjadi ancaman. Karena itu, manusia secara manusiawi lebih nyaman dan aman menjadi bagian dari society supaya terhindar dari isolasi.
Karena itu, kemudian individu harus menyesuaikan diri dengan suara mayoritas dalam masyarakat. Individu harus menjadi bagian dari masyarakat dengan melakukan konformitas. Hak-hak individu harus direlakan untuk lebur menjadi satu dalam hak kolektif.
Hak-hak individu yang ditelan kolektivitas akan melahirkan fasisme. Hak kolektif lebih dikedepankan daripada hak individual. Kepentingan negara –apa pun itu definisinya– harus diutamakan ketimbang kepentingan individu.
Fasisme telah melahirkan pemimpin otoriter dan haus perang seperti Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, dan rezim Jepang Teno Haika semasa Perang Dunia Kedua. Rezim fasisme muncul bukan karena dukungan mayoritas. Rezim fasisme berkuasa karena opini masyarakat hilang ditelan ”spiral keheningan”.
Hitler hanya didukung sekelompok kecil ultra-nasionalis. Mussolini berbaris memasuki Kota Roma dengan segerombol pendukung kecilnya yang berpakaian serbahitam. Partai Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin hanya beranggota ratusan buruh.
Namun, mereka bisa merebut kekuasaan karena spiral of silence, suara oposisi dibuat sunyi dan diberangus sampai benar-benar habis. Yang lahir kemudian ialah pemerintahan diktator yang mengeklaim mendapatkan dukungan kolektif rakyat. Suara yang menentang akan diisolasi dan dieksekusi.
Ketakutan terhadap isolasi dan eksekusi menyebabkan seseorang memilih melakukan konformitas, penyesuaian diri, ketimbang harus menjadi liyan. Lebih baik diam daripada menyuarakan opini yang berbeda. Satu orang diam, kemudian diikuti lainnya dan kemudian lainnya lagi. Diam menjadi lingkaran spiral yang menyedot makin banyak orang ke dalamnya menjadi spiral keheningan.
DPR sebagai rumah rakyat seharusnya ramai dengan perdebatan. Sebagai rumah rakyat wajar kalau DPR riuh rendah oleh bermacam-macam perdebatan. Tapi, adegan yang terjadi dalam sidang paripurna penetapan panglima TNI (8/11) menunjukkan bahwa DPR lebih suka menjadi rumah diam yang tenang dan seragam, tanpa ada suara liyan yang bisa bikin gaduh.
Anggota dewan yang melakukan interupsi diabaikan dan bahkan dilabrak dan dituding-tuding sampai kemudian sang anggota dewan meminta maaf. Tirani mayoritas sedang dipertunjukkan di depan rakyat. Suara oposisi yang minoritas akan makin hilang, dan DPR akan larut ditelan spiral keheningan.
Demokrasi liberal yang diterapkan di Indonesia punya prinsip 50 persen plus satu. Kalau perdebatan mentok menjadi deadlock, sudah ada mekanisme voting sebagai jalan terakhir untuk mengambil keputusan. Hasil voting harus diterima sebagai keputusan bersama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: