Fokus di Sayur Biar Kampung Tidak Bau

Fokus di Sayur Biar Kampung Tidak Bau

Pemkot Surabaya sedang merintis program baru. Kampung Sayur atau urban farming. Sudah dua bulan bergulir di 11 titik. Kampung atau kelompok masyarakat yang ingin belajar urban farming nantinya bisa berguru di sana.

KAWASAN Morokrembangan yang panas langsung terasa teduh begitu masuk ke Kampung Sepuluh Gadukan Utara kemarin (23/11). Jalan masuk menuju permukiman padat penduduk itu terlindung kanopi tanaman rambat. Tertempel pot berisi tanaman hias di kanan kiri dindingnya. 

Duabelas tahun lalu, pemandangannya bakal jauh berbeda. 

Pemkot menetapkan kawasan RT 10 RW 5 itu sebagai area kumuh. Sarang masalah. Namun mereka sudah jauh berbenah.

Belasan warga berseragam kuning berkumpul di dekat Boezem Morokrembangan. Mereka kedatangan tim khusus (timsus) Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya.

Pakar pertanian DKPP Surabaya Galang Arthur Mahesa menenteng karung di hadapan warga. Setelah dibuka, ternyata isinya kotoran kambing. Salah seorang warga ternyata punya peternakan kambing. Kotorannya akan digunakan untuk membuat kompos.

Siang itu, Galang mengajarkan cara mengolah limbah organik menjadi kompos yang benar.  Bahannya tidak harus kotoran kambing. Bisa juga kotoran ayam atau sapi.

Daun-daun kering yang sudah dikumpulkan warga dicampur di sana. Galang lalu menaburkan cairan EM4 yang mengandung banyak mikroorganisme hidup. 

Cairan itu mempercepat proses fermentasi kompos. Bau pada kotoran hewan ternak yang dipakai juga bakal hilang. “Setelah dicampur, jangan langsung dipakai, ya. Ini sifatnya panas. Akar bisa mati kalau langsung dicampur,” ujar Galang. 

Prosesnya membuat kompos cukup lama. Bisa dua hingga tiga bulan. Semua sampah organik itu harus rutin dibolak-balik agar proses fermentasi merata. Cairan bisa ditambahkan untuk mempercepat prosesnya. Jika sudah hancur seperti tanah, kompos siap dipakai.

Setelah semua paham, Galang berkeliling dengan warga. Ia melihat tanaman cabai yang berjajar di tepian boezem. Inilah salah satu tanaman andalan warga. “Tapi cara menanamnya salah,” lanjut Galang sambil memegang batang cabai di pot.

Warga heran. Tanaman yang dipegang galang terlihat begitu segar. Batangnya dan daunnya banyak. Bunga putihnya juga sudah mulai bermunculan. “Yang salah apanya pak?” tanya seorang warga di barisan depan. 

Galang lalu menunjukkan dua cabang rendah di batang utama. Seharusnya batang itu tidak dibiarkan tumbuh saat bibit cabai masih kecil. Cara itu akan membantu batang utama mengalirkan nutrisi ke cabang utama. Pertumbuhan terfokus ke atas. Bukan ke samping.

Warga yang selama ini merasa mahir mengangguk-angguk. Ternyata mereka masih perlu banyak belajar dari para pakar. Menanam cabai ada ilmunya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: