Membangun Rumah di Lahan Miring

Membangun Rumah di Lahan Miring

Membangun rumah di lahan yang tidak rata membutuhkan penanganan tersendiri. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan supaya bangunan dapat berdiri kokoh dan tahan lama. Lebih tricky, tapi tetap bisa nyaman buat penghuni.

 

TANAH dengan kemiringan 20 derajat masih sangat aman untuk didirikan rumah. Di dataran tinggi sekalipun. Kemiringannya tidak terlalu curam. Hal itulah yang dihadapi arsitek Ogie Hartantyo di kawasan Banyumanik, Semarang. Rumah tidak hanya harus bisa berdiri sempurna. Tapi juga nyaman dan awet. Sebab, rumah di lahan berkontur memiliki risiko lebih besar.

Salah satu risiko yang paling umum adalah pergeseran lahan, yang terjadi akibat tekstur tanah yang lembut. Kemiringan membuatnya jadi lebih mudah bergerak, apalagi kalau hujan deras. Tembok rumah bahkan bisa retak. Bingkai jendela atau pintu pun dapat terlepas dari tembok.

Resiko lainnya adalah mengganggu kontruksi rangka atap. Genteng bisa merenggang. Sehingga bocor.

’’Untuk kenyamanan penghuni, saya harus menyusun pola tepat untuk akses parkir mobil serta jalan masuk ke rumah,’’ jelas Ogie. ’’Kemarin harus ngeruk tanah lumayan banyak. Dan harus pintar-pintar menghitung penempatan tangga. Supaya efisien dan tidak makan banyak tempat,’’ papar lulusan Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro tersebut.

Ogie menjelaskan, tahap pertama adalah menentukan dulu tempat carport. Ia memilih di sebelah kiri bangunan. Karena lebih landai. Sehingga mempersingkat proses penggalian. Meski begitu, tanah galiannya lebih banyak dari yang dibayangkan untuk mendapatkan tinggi yang pas.

TAMAN KERING di bagian samping rumah menjadi salah satu penahan yang membuat level rumah terasa rata. Rumput dan tanaman hijaunya sekaligus menjadi suplai oksigen.

Kemudian, ia membangun talud atau plengsengan. Supaya bagian tanah yang jadi rumah nanti tidak longsor ke lahan carport. Butuh ketebalan sekitar 10-15 sentimeter. Bahannya dari batu kali dan semen. Sama seperti material pembuatan fondasi.

Setelah talud selesai, barulah membuat fondasi. Rumah direncanakan berukuran sedang, untuk keluarga beranggotakan empat orang. Hanya satu lantai. Semen dan batu kali dirasa cukup. ’’Fondasi disokong dengan sloof. Fungsinya sebagai pengikat struktur bawah rumah. Poros penempatan tembok juga. Tujuannya agar fondasi dan tembok kuat dan tahan lama,’’ jelas Ogie.

Soal tembok, Ogie menggunakan dua jenis bata. Yakni bata ringan berwarna putih, dan bata merah. Tujuannya agar lebih tahan lama. Apalagi tembok samping langsung bertemu tanah dengan posisi lebih tinggi. Rembesan air bisa membuat strukturnya cepat keropos.

Bata ringan dipilih sebagai pengisi di atasnya. Karena lebih ringan, sehingga memberikan beban yang cukup memadai pada bata di bawahnya. Rumah ini memiliki tembok setinggi 7 meter, hampir sama seperti hunian dua lantai. Selain itu, ukuran bata ringan sedikit lebih besar dari bata merah. Ini bisa mempersingkat waktu pembangunan. Sehingga lebih hemat juga.

Setelah tembok jadi, lanjut ke proses pembuatan rangka atap. Ogie menggunakan baja ringan yang dicampur CNP atau baja berat. Sehingga dapat dipasang pada plafon di sisi dalam. ’’Strukturnya akan berbeda kalau pakai baja ringan penuh. Tidak ada rongga di dalam,’’ tukasnya.

Plafon telah terpasang, Ogie melanjutkan penyelesaian dengan menyentuh permukaan tembok. Acian semen tetap jadi pilihan. Kemudian diamplas agar teksturnya halus. Dilanjutkan dengan pengecatan. Barulah setelah bangunan jadi, pindah ke proses mendandani fasad dan interior.

Sumber: