Menengok Kondisi Terkini Markas Besar Oelama
Sebuah bangunan yang terletak tepat di belakang pabrik paku, Waru, Sidoarjo, itu menyimpan kisah sejarah perjuangan ulama dan para santri pada 10 November 1945. Kini bangunan itu masih gagah berdiri meski kondisinya kurang terawat.
GANG kecil di belakang pabrik paku, Waru, itu tampak seperti gang biasa. Hanya dilewati para pemotor atau pejalan kaki sebagai akses ke pasar Waru, sebelah timur jalan layang.
Tapi siapa sangka, dari ujung gang sebelah utara, lima puluh meter menuju selatan terdapat bangunan kuno dengan arsitektur antik. Dinding bagian depannya mengelupas dan berlumut, sehingga konstruksi batu bata merah di dalamnya terlihat dengan jelas.
“Masuk saja. Ada penjaganya di dalam,” ujar warga setempat yang kebetulan lewat. Bagian depan bangunan itu dihiasi dengan pagar semen memutar yang keropos. Bagian tengahnya ditutup dengan pagar kayu seadanya. Sedangkan di bagian kiri terdapat papan besar bertuliskan Markas Besar Oelama (MBO) dengan logo Nahdlatul Ulama.
Konon, bangunan itu memiliki sejarah panjang terkait perang 10 November 1945. Perang mempertahankan kemerdekaan yang terjadi di Surabaya.
Kesejarahan tempat itu juga begitu istimewa di kalangan umat Islam, utamanya kaum ulama dan santri. Karena di tempat itulah para ulama melakukan konsolidasi untuk turut berjuang demi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Harian Disway pun berdiri di depan pagar kayu dan mengucap salam untuk memanggil penghuni bangunan. Sepintas seperti tak ada orang. Tapi setelah dua-tiga kali dipanggil, terdengar derit pintu kayu lapuk yang digeser. Kemudian seorang pria paruh baya keluar. Tanpa baju, hanya mengenakan celana pendek.
Pria itu tampak begitu bersemangat. Sepertinya karena sudah lama tinggal di bangunan tua yang kuno itu, hatinya jadi bahagia ketika melihat tamu yang datang. “Mau tahu sejarahnya rumah ini? Saya penunggunya. Alias juru kunci. Silahkan masuk!” ujarnya. Kemudian membuka penutup kayu dengan cara mengangkatnya lalu disandarkan di samping pagar.
Ia membuka pintu rumah itu lebar-lebar. Bagian dalamnya dilihat dari luar tampak cukup gelap. Hanya ada penerangan seadanya. Ternyata benar, lampu yang tergantung di ruang tamu bangunan itu hanya 10 watt. Cahaya matahari sore yang masuk lewat celah-celah lubang lebih mampu menerangi keseluruhan ruang.
Meja-kursi nihil. Tak ada sama sekali. Di ruang tamu dan sepanjang lorong ruangan yang membujur dari timur ke barat penuh dengan material bahan bangunan. Sedangkan di ruang depan tersebut terdapat beberapa semen, gentong plastik berukuran besar serta sebuah alas kayu kecil. “Duduk seadanya. Ngisi buku tamu dulu, ya,” ujarnya, kemudian menunjukkan buku hijau.
Dari deretan nama-nama dan institusi yang tertera di dalamnya, terdapat pengunjung dari berbagai universitas, masyarakat umum, paling banyak adalah kunjungan dari para pengurus NU Surabaya. “Tanah dan bangunan ini sudah milik PBNU. Saya yang ditugaskan untuk merawatnya,” ujarnya. Pria itu mengenalkan namanya: Ahmad Gojali. Pekerjaan sehari-hari sebagai tukang bangunan. Maka tak heran apabila di sepanjang ruangan dipenuhi dengan material-material.
Berdasar keterangan Gojali, hanya sedikit yang berubah dari arsitektur tempat itu. Selebihnya masih asli. “Yang berubah cuma ruang belakang sisi kiri. Itu dulu tempat wudu para kiai,” ujarnya sambil menunjuk ke belakang. Sebuah dinding batu-bata membujur dengan bagian kanannya terlihat tumpukan kayu-kayu untuk bahan bangunan. “Di situ dulu ada sumur. Sekarang ditutup, ditembok, karena sudah sangat tua dan rapuh,” ujar pria 52 tahun itu.
Simbol matahari pada bagian atas Markas Besar Oelama (MBO) yang sudah termakan usia.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)
Di bagian tengah lorong sebelah kanan, terdapat dua kamar yang saling berjajar. Kamar paling belakang konon dulu digunakan sebagai tempat tidur para santri-santri utama. Sedangkan kamar paling depan digunakan sebagai tempat tidur para kiai. “Sekarang kamar belakang itu saya yang menempati,” ujarnya.
Kyai besar yang juga pahlawan nasional pernah menggunakan bangunan itu sebagai ruang konsolidasi perjuangan. Bahkan KH Hasyim Asy’ari, ulama besar pendiri NU, konon pernah mengunjunginya selama beberapa saat, kemudian merestui tempat itu sebagai markas ulama. Dua kiai yang dulu menempati bangunan itu selama perang 10 November adalah KH Bisri Syansuri dan KH Wahab Hasbullah. “Beliau-beliau dulu kalau memimpin salat di ruang atas lantai dua,” ujarnya. Kemudian menunjuk bagian atas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: