Upaya Merefleksikan Penggunaan Internet

Upaya Merefleksikan Penggunaan Internet

Media sosial menjadi tempat menampung keluh-kesah para pengguna internet.

Munculnya sentimen lawakan seperti akun @nantikitasambattentanghariini di twitter dan @twittersambat di Instagram menjadi bukti bahwa media sosial sekarang ini menjadi tempat meluapkan emosi yang digemari oleh warganet.

Twitter dan Instagram memberikan ruang yang nyaman dan terbukti berhasil menyelesaikan masalah. Contoh lain, munculnya tagar #twitterdoyourmagic yang mampu mengundang partisipasi warganet untuk berbondong-bondong membuat viral postingan yang bersifat mengundang simpati tersebut.

Seorang pengguna Twitter pemilik akun @arlinath mengunggah cuitan berisi kisah adiknya yang hilang selama lima tahun pada oktober 2021 lalu. Dikisahkan bahwa sang adik pemilik akun ini menghilang di tahun 2015/2016. Aurellia, sang pemilik akun, beserta keluarga sudah melaporkan kepada pihak berwajib.

Namun tak membuahkan hasil alias nihil. Usaha Aurellia dalam mencari adiknya yang hilang justru berbuah manis di Twitter. Seorang pengguna lain pemilik akun @puji6781478 membagikan foto adik Aurellia yang menghilang selama lima tahun itu. Sang adik pun ditemukan.

Sifat media sosial yang partisipatoris menunjang suara linimasa warganet untuk melakukan semacam alternatif dalam memecahkan suatu permasalahan. Suara netizen yang ikut mengviralkan tweet akun @arlinath seakan menjadi counter-public atas kekurangtanggapan pihak berwajib dalam mengatasi keluhan warganya serta tanggapan warganet di media sosial.

Seakan-akan memberikan dukungan dan rekognisi yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan. Hal ini membuat media sosial dalam teknologi digital digunakan sebagai ruang bagi kelompok marginal untuk menyuarakan pendapat.

Selaras dengan karakteristik media sosial yang menyampaikan suatu pesan secara bebas membuat seluruh golongan masyarakat, terutama yang terpinggirkan, menyuarakan aspirasi tanpa harus melalui penyaringan yang berarti.

Tidak hanya dalam konteks sosial, contoh kasus dengan cakupan lebih luas lagi yang terjadi di dunia bernama ”Arab Spring”. Sebuah aksi revolusioner berbasis media daring tersebut berhasil membuat seantero Timur Tengah berkobar.

Para demonstran menggunakan pelbagai medium daring seperti Twitter, Facebook, youtube, hingga skype. Laporan dari situs The Guardian melaporkan lonjakan cuitan Twitter dengan tagar #Jan25 dari yang semula berjumlah 2.300 Tweet menjadi 130.000 per harinya.

Lonjakan cuitan yang fantastis ini terjadi selama satu minggu penuh hingga berhasil melengserkan Presiden Hosni Mubarak.

Teori yang dikemukakan Bennet dan Segerberg, dalam bukunya yang berjudul The Logic of Connective Action, tentang mobilisasi massa di ruang daring cukup membantu dalam mengkaji beberapa kasus di atas. Bennet dan Segerberg mengajukan teori Connective Action yang berkebalikan dengan Collective Actio

Dalam teori Olson, mobilisasi massa membutuhkan suatu hierarki kepemimpinan, ikatan organisasi, strategi organisasi, dan adanya persamaan ideologi. Hal ini berarti individu berkegiatan demi kepentingan kelompok dan seringkali pemaksaan ideologi yang berujung kepada doktrin para anggotanya. Berkebalikan dengan Connective Action yang berarti aksi individu yang bergerak melalui konektivitas media daring.

Poin penting dari Connective Action ini adalah individu, dalam hal ini warganet, tidak diperlukan untuk memiliki kepentingan untuk berkomitmen terhadap kelompok tertentu. Keuntungan yang diperoleh adalah kepuasan dalam menyampaikan aspirasi dan kesamaan referensi personal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: