Demi Tunjungan, Revisi Perda Cagar Buday

Demi Tunjungan, Revisi Perda Cagar Buday

PEMKOT Surabaya butuh segera merevisi Perda Nomor 5 Tahun 2005 tentang Cagar Budaya. Selama sebelas tahun, aturan itu belum disesuaikan dengan aturan induk cagar budaya:  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010.

”Sekarang butuh karena pemkot di bawah kepemimpinan Pak Eri sedang serius membenahi cagar budaya. Khususnya Tunjungan,” ujar Pimpinan Sidang Paripurna DPRD Surabaya A.H. Thony kemarin (2/12). Ada banyak rencana pengembangan kawasan legendaris itu yang tersendat gara-gara perda yang usang. Karena itulah, perda cagar budaya perlu segera direvisi.

Pemkot sudah meluncurkan program Tunjungan Romansa pada 21 November lalu. Seniman jalanan diberi tempat untuk berkreasi di sana. Stan UMKM dijejer di sepanjang jalan agar Tunjungan lebih hidup.

Lampu di sepanjang jalur pedestrian dihias sedemikian rupa sehingga Tunjungan lebih indah pada malam hari. Bangunan-bangunan yang belum dimanfaatkan pemiliknya dibersihkan dan dicat ulang. Pemkot menerjunkan komunitas mural untuk menghiasi toko-toko yang masih tutup itu.

Tunjungan memang lebih ramai sekarang. Namun banyak yang khawatir pesonanya akan memudar seiring waktu.

Perubahan perda cagar budaya diperlukan karena Jalan Tunjungan sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Artinya semua bangunan di sana harus dilestarikan. Tidak boleh dibongkar.  Penanganannya harus khusus. ”Revisi perda itu akan mengatur hak dan kewajiban pemkot dan pemilik bangunan cagar budaya yang selama ini kita belum punya,” lanjut Wakil Ketua DPRD Surabaya itu.

Rencananya akan ada pembuatan badan khusus yang mengelola cagar budaya. Mirip Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BP2KL) di Semarang. Nah, untuk membentuk badan itu, perda cagar budaya harus disesuaikan dengan UU.

Thony sudah pernah mengunjungi Kawasan Kota Tua Semarang yang dikelola BP2KL. Kondisinya mirip dengan Jalan Tunjungan. Gedung-gedung khas Eropa itu dikelola hingga menjadi ikon wisata Semarang. Sampai muncul julukan ”The Little Netherlands”.

Pesona Gereja GPIB Immanuel (Gereja Blenduk), Stasiun Tawang, Jembatan Berok, Gedung Marabunta, hingga Pabrik Rokok Praoe Layar jadi daya tariknya. Dahulu kawasan kota tua Semarang itu dijadikan tempat bermukim orang Belanda, Tionghoa serta bangsa Eropa yang mayoritas pedagang.

Mirip Jalan Tunjungan. Namun ada daya tarik lain yang tidak dimiliki tempat mana pun di Indonesia. Rentetan Pertempuran 10 November yang ditetapkan sebagai Hari Pahlawan meletus di Tunjungan.

Ada gedung Siola (White Laidlaw) yang jadi basis pertahanan Arek-Arek Suroboyo. Pemkot sudah membangun museum di dalamnya.

Ada juga Hotel Majapahit yang pada masa penjajahan Belanda dinamai Hotel Oranje. Lalu oleh Jepang diubah menjadi Hotel Yamato. Peristiwa perobekan bendera merah putih biru menjadi merah putih terjadi di ujung menara hotel itu. 

”Potensi itu selama ini tidak ada yang mengelola. Harus ada badan khususnya,” ujar Thony. Pemkot sudah punya tim cagar budaya. Namun, kewenangan mereka terbatas. TACB hanya melakukan kajian dan memberikan rekomendasi ke pemkot. Tidak ada kewenangan pengelolaan.


WAKIL Wali Kota Surabaya Armuji (kiri) bersama Wakil Ketua DPRD A.H. Thony dan Reny Astuti setelah rapat paripurna kemarin (2/12/2021). (Foto: Rozal Hanafi-Harian Disway)

Badan khusus itu akan diberi kewenangan untuk menghidupkan kawasan cagar budaya di Surabaya. Selain di Tunjungan ada juga kawasan kota lama di kawasan Jembatan Merah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: