Jejak Markas Pertama ada di Blauran

Jejak Markas Pertama ada di Blauran

Rupanya, Markas Besar Oelama yang digunakan pejuang dalam perang 10 November bukan markas yang pertama. Para ulama dan santri mengonsolidasikan gerakan awalnya di Blauran Gang IV no.25.

“DULU, waktu markas di Blauran sudah tidak memungkinkan, para kiai dan santri pindah ke bangunan ini,” ujar Ahmad Gojali, penjaga bangunan Markas Besar Oelama yang terletak di Jalan Satria, Kedungrejo, Waru. 

Gempuran tentara Inggris bersama Gurkha dan NICA-Belanda, beserta persenjataannya yang lengkap dan modern, berhasil memukul mundur para pejuang. Meski dengan sangat susah payah. 

Bara semangat arek-arek Suroboyo terus berkobar. Heroisme tersebut terjadi salah satunya karena seruan resolusi jihad.

Ketika palagan Surabaya telah dikuasai Inggris, para pejuang mundur ke Sidoarjo. Mereka terbagi. Beberapa barisan pejuang mempertahankan sisi barat di daerah Sepanjang, sedangkan sebagian lagi mempertahankan sisi utara, di Waru, Sidoarjo.

Markas Besar Oelama di Blauran yang dipimpin KH Wahab Hasbullah sudah tak memungkinkan untuk dipertahankan. Mereka berpindah ke Waru, bergabung dengan barisan yang dipimpin KH Bisri Syansuri di Kedungrejo. 

Lantas apakah jejak Markas Besar Oelama pertama di Blauran masih ada? Petunjuk alamat pasti dari markas pertama tersebut tercantum dalam buku Surabaya Kota Pahlawan Santri karya Rijal Mummaziq. Yakni di Jalan Blauran Gang IV no 25. 

Menuju ke sana, kita dapat melewati gang kecil sebelah utara Jalan Praban. Atau lewat sisi timur, Jalan Tanjung Anom. Ketika masuk, tak ada petunjuk tentang cagar budaya bangunan tersebut. Mungkin saja dari pihak-pihak terkait belum melakukan penelusuran lebih lanjut. Namun Rijal sebagai penulis buku sangat yakin karena ia memegang data-data terkait sejarah yang dituang dalam bukunya.

Bangunan nomor 25 itu tentu ada di gang IV. Melewati sudut jalan sempit dari Tanjung Anom, kemudian mengarah ke timur. Letaknya persis di depan Masjid Miftahul Jannah. 

Konstruksi bangunan tersebut telah berubah sama sekali. Menjadi rumah modern berlantai dua. Pintunya cekung berbahan jati, lalu di bagian depan dihiasi tetumbuhan.

Dinding bagian belakang berimpitan dengan rumah yang ada di gang III. Sedangkan di sudut barat terdapat jalan sempit dengan lantai ber-paving. Tuan rumah bangunan itu bernama Sugeng Supriyanto (Anto). Namun sang pemilik tak ada di rumah. Hanya ada Aimah, istrinya. 

“Yang saya dengar dulu memang begitu. Katanya rumah saya ini jadi markas perjuangan. Dulu pemiliknya bernama Kiai Yasin,” ujarnya. Bangunan tersebut dibeli dari Kiai Yasin oleh ibunda Aimah yang bernama Aisyah. Kini ditempati oleh Aimah dan suaminya, serta dijadikan usaha kos-kosan. Namun untuk detail sejarahnya dia tak tahu persis.

Kemudian ia menunjuk sisi kiri rumahnya. “Dulu sisi ini kosong. Hanya ada sumur. Konon sumur tersebut digunakan untuk wudu para kiai dan santrinya,” ujar perempuan yang menempati bangunan tersebut selama kurang lebih 20 tahun.

Sayangnya Aimah tak mengizinkan untuk mengambil gambar di bagian dalam rumahnya. Namun Harian Disway sempat mengintipnya sedikit. Pada bagian barat ruangan dindingnya tampak masih asli era kolonial. Cukup tebal. Sepertinya bagian itulah yang digunakan sebagai Markas Besar Oelama pada saat-saat awal pertempuran 10 November.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: