Komando Bayangan dari Gubernuran dan Kramat Gantung

Komando Bayangan dari Gubernuran dan Kramat Gantung

Viaduk pinggir Tugu Pahlawan, kantor gubernuran dan Jalan Kramat Gantung, Surabaya, menjadi saksi bisu perang dahsyat 10 November di Surabaya. Termasuk sosok kiai misterius yang muncul tiba-tiba dan mengobarkan semangat pejuang.

VIADUK Jalan Pahlawan, Krembangan, dan Jalan Kramat Gantung, 80 tahun berselang setelah peristiwa 10 November telah banyak berbenah. Padat kendaraan bermotor, lalu-lalang pedagang kaki lima dan toko-toko besar di kanan kiri. 

Tugu Pahlawan berdiri tegak di sisi timur viaduk dan sisi utara Jalan Kramat Gantung. Monumen itu sebagai penanda perang besar 10 November. Ribuan korban berjatuhan baik dari sisi pejuang maupun tentara Inggris dengan Gurkha dan NICA Belanda.

Ayam jantan berkelahi. Orang-orang Indonesia tidak memedulikan yang mati. Kalau seseorang mati, yang lain maju ke depan dan senjata mereka terus berbicara. Orang-orang mati bertumpuk-tumpuk di barikade-barikade dan semakin meningkat, tetapi orang-orang Indonesia terus maju, melangkahi mereka yang mati. 

Begitulah yang ditulis oleh Letnan Kolonel AJF Doulton melalui memoarnya, yang tercatat dalam buku Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan, karya Irma H. Soewito.

“Coba sebutkan daftar orang-orang misterius di Indonesia? Siapa saja? Supriyadi, atau orang yang merobek bendera merah-putih-biru di Yamato?” tanya Rijal Mummaziq, peneliti sejarah perjuangan 10 November, yang juga penulis buku Surabaya Kota Pahlawan Santri. “Masih ada lagi. Yaitu kiai misterius di atap kantor gubernuran dan di Jalan Kramat Gantung,” tambahnya.

Dua hari ketika perang besar dimulai pada 10 November, tepatnya tanggal 12, para pejuang bergerak maju ke arah viaduk dengan semangat tinggi. Mereka tak memedulikan persenjataan Inggris yang lebih modern. Bekal persenjataan mereka hanyalah senjata rampasan Jepang dan senjata seadanya seperti bambu runcing, golok dan parang.

Para pejuang bertumbangan. Di tengah kondisi moril yang menurun karena kalah persenjataan, tiba-tiba mereka mendengar pekik yang disuarakan seseorang dari arah timur. “Allahuakbar! Merdeka!,” teriaknya.

Barisan Sabilillah, Barisan Hizbullah, Barisan Pemuda Republik Indonesia dan badan perjuangan lainnya melihat ke arah suara. Mereka menyaksikan seseorang berjubah putih dan bersorban, tepat di atas kantor gubernuran. Tangannya mengepal. Seruan untuk terus maju menggema.

Serdadu Inggris membidikkan senapan mereka ke arah sang kiai. Peluru berdesingan, tapi anehnya, kiai tersebut tak bergeming sedikit pun. Bahkan terus mengomando para pejuang untuk bergerak maju, merangsek, mempertahankan viaduk.

“Saat itu, berkat dukungan moril dari kiai tersebut, semangat pejuang membara kembali,” ujar pria 37 tahun itu. Bahkan para pejuang terus bertahan dan maju meski dihujani peluru oleh pesawat Thunderbolt Inggris. Mereka menyebutnya pesawat “Cocor Merah”. 

Barisan pejuang di belakang melompati jenazah kawan mereka yang gugur dan mengambil posisi menembak. Pesawat Thunderbolt juga tak luput memberondong sang kiai yang berada di atas gedung gubernuran. Anehnya, kiai misterius itu tetap berada di posisinya sembari terus memekikkan takbir dan seruan “Merdeka”.

Tentara Inggris heran dengan kiai kebal peluru tersebut. Salah seorang pemimpin mereka menggerakkan dua tank Sherman dan sebuah bren-carrier, menerobos bagian bawah viaduk dan mengarahkan senjatanya ke tubuh sang kiai. Itu pun tak membuat sang kiai terluka!

Namun tak berapa lama, tubuh kiai tersebut tumbang. Rupanya, sniper Inggris berhasil membidiknya. Melihat sang kiai terpelanting jatuh, amarah para pejuang memuncak. Mereka menyerbu dua tank Sherman dan bren-carrier, hingga ketiga kendaraan militer tersebut buru-buru kabur ke arah Lindeteves, yang kini menjadi gedung Bank Mandiri di kawasan Kebon Rojo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: