Tutur Mata Para Tunarungu dan Tunawicara

Tutur Mata Para Tunarungu dan Tunawicara

Para difabel memang punya perbedaan kemampuan. Namun, mereka tetap setara dengan yang lain. Kesetaraan itu dibuktikan melalui karya-karya mereka. Demi menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.

KEMARIN, (18/2), lima anak difabel dari UPTD Liponsos Kalijudan meluncurkan Tutur Mata. Sebuah buku foto persembahan dari empat anak tunarungu-tunawicara dan satu penyandang down syndrome. Karya epik itu memuat hasil jepretan terbaik mereka sejak 2016. Mereka adalah Pina, Jacky, Omay, Mukidi, dan Kiking.

Tutur mata digarap secara serius. Foto-foto yang termuat di buku yang bersampul kuning itu melalui seleksi ketat. Ratusan foto dari lima anak dikurasi langsung oleh found Komunitas Fotografi Matanesia Mamuk Ismuntoro.

''Pemilihannya objektif. Bukan karena belas kasihan,” katanya pada peluncuran Tutur Mata di Cafe Taman, Surabaya Suites Hotel. Hanya 48 foto yang termuat di buku tersebut. Yang dipilih memang yang terbaik.

Seleksinya benar-benar dilakukan secara profesional. Tidak ada intervensi dari siapa pun. Jadi, jumlah foto masing-masing anak yang termuat tidak sama. Ada yang cuma 5 foto dan ada juga yang sampai 10 foto. 

Proses kurasinya tidak main-main. Mamuk benar-benar memperhatikan kualitas karya mereka. Penilainnya terletak pada mood setiap gambar. Setiap gambar bisa bercerita meski yang memotret tak mampu berkata-kata.

“Kami juga menghindari repetisi gambar,” katanya. Artinya, setiap foto yang termuat tidak ada kemiripan satu sama lain. Dari situlah, keunikan karya bisa lebih ditonjolkan. Hasilnya pun sangat mengesankan. Mereka layak dijuluki fotografer muda.

Foto hasil jepretan Pina dipilih sebagai pembuka pada buku karya mereka. Sebuah foto yang tampak natural. Yakni Omay dan Kiking yang tertawa lepas sedang loncat dengan mengendarai sapu. Seperti sedang bermain sapu nenek sihir.

Lalu, di halaman terakhir ditutup oleh sebuah foto yang ceria. Yaitu lima fotografer muda sedang berdiri di suatu lorong penuh tanaman rambat. Raut wajah mereka begitu ceria. Mengesankan kebahagiaan dan rasa syukur atas lahirnya karya.

Pada peluncuran itu terdapat lima foto yang dipajang. Masing-masing merupakan karya terbaik setiap fotografer.

Foto-foto itu pun langsung mendapat apresiasi pengunjung. Masing-masing laku Rp 500 ribu.

Iku nggonku. Kaos tak foto (Itu milikku. Kaus kupotret, Red),” kata Omay sambil menunjuk satu karyanya yang terpajang di ujung ruangan. Ia mengacung-acungkan dua jempolnya. Dari empat anak itu, hanya ia satu-satunya yang bisa berbicara. Omay terlihat begitu bangga karena karyanya bisa laku.

Kesuksesan kelima anak itu tidak terjadi secara instan. Perlu waktu selama 6 tahun untuk belajar. Dan ada sosok kuat yang selalu memotivasi di belakang mereka. Juga dengan sabar membina dan melatih kemampuan mereka. Orang itu adalah Leo Arief Budiman. Ia menjadi mentor kelima fotografer muda tersebut. Di tangan Leo, anak-anak tersebut bahkan mampu mengikuti workshop fotografi tingkat internasional. Yakni sekitar 2019, tatkala karya mereka dipamerkan di gedung Gurzenich, Koln, Jerman. Bahkan, Kiking berhasil menyabet gelar fotografer muda terbaik di ajang tersebut. “ Mereka kini jauh lebih percaya diri. Kami disini ingin terus mendorong mereka agar kelak bisa mandiri,” ungkap Mamuk, pria gondrong itu. (Mohamad Nur Khotib)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: