Mbah Minto

Mbah Minto

Mbah Minto bukan aktris watak yang seolah-olah berperan sebagai perempuan tua. Juga bukan aktris gaek yang sudah kenyang berakting sedari muda. Bukan. Dia tetap Mbah Minto. Simbah-simbah biasa.

Itu memang kekuatan YouTube. Pada 2009, Joshua Green dan Jean Burgess menulis buku YouTube: Online Video and Participatory Culture. Mereka mengatakan bahwa layanan YouTube memungkinkan pengguna untuk mengunggah, menerbitkan, dan melihat video streaming tanpa pengetahuan teknis tingkat tinggi.

Margareth Holland, dalam artikelnya yang berjudul How YouTube Developed into a Successful Platform for User-Generated Content (Elon Journal of Undergraduate Research in Communications, Vol. 7, No. 1, 2016) mengatakan bahwa YouTube memberi kesempatan bagi ‘’orang-orang biasa’’ untuk membangun citra dirinya.

Dengan YouTube, orang-orang seperti Mbah Minto bisa punya kesempatan tampil ke permukaan. Mereka bisa menjadi bintang video tanpa harus melalui proses casting yang dicengkeram kekuasaan para produsen. Lewat YouTube, siapa saja bisa menjadi bintang. Tanpa harus berparas supercantik, tanpa harus punya latar belakang akting yang mumpuni.

Justru, kekuatan Mbah Minto—juga kanal Ucup Klaten—adalah kesederhanaan itu. Bahwa yang tampil di video YouTube adalah hal-hal yang bisa terjadi di sekeliling kita. Bukan di dunia imajiner yang terasa jauh dari kenyataan.

Dan di situlah kekuatan YouTube Ucup Klaten dan Mbah Minto-nya. Ia relates dengan audiens. Itu senada dengan artikel Julie Meredith yang dimuat di Forbes pada 25 Juni 2020. Bahwa memahami apa yang beresonansi pada audiens adalah kunci untuk menjaga komunitas media sosial Anda.

Dikutip artikel Holland, Kozinets dan Cerone (2014) menulis bahwa social branding itu telah memunculkan ’’selebriti mikro’’ akar rumput yang frekuensinya terus meningkat. Sebab, para ’’selebriti mikro’’ itu punya kemampuan mencuat ke permukaan tanpa harus bergantung dengan penguasa media-media mainstream.

Akting Mbah Minto dalam video klip Angel milik Denny Caknan feat. Cak Percil.
(tangkapan layar YouTube DC Production)

Tentu, itu bukan tanpa efek samping. Kemudahan muncul ke publik itu membuat konten YouTube seolah tanpa saringan. Anda mungkin mengakui bahwa di YouTube pun banyak bermunculan video-video ’’sampah’’. Atau kalau istilah anak muda kiwari: konten-konten un-faedah.

Nah, konten-konten seperti Mbah Minto itulah yang juga diperlukan untuk menjaga keseimbangan. Bahwa kita bisa terhibur oleh laku bersahaja seorang nenek tua yang begitu polos. Bahwa kelucuan tidak muncul dari adegan slapstick yang mempermainkan fisik. Bahwa gelak tawa tidak harus diledakkan dengan kekonyolan yang bahkan berbau perundungan.

Bahwa, siapa tahu di sekitar kita masih banyak Mbah Minto-Mbah Minto lain yang juga layak menjadi bintang.

Siapa tahu…

Sugeng tindak, Mbah Minto… (*)

*) Doan Widhiandono adalah wartawan Harian Disway, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas 17 Agustus 1945, dan mahasiswa program doktor Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: