Social Justice di Tuntutan Mati Herry Wirawan

Social Justice di Tuntutan Mati Herry Wirawan

Kuasa hukum 13 santriwati korban pemerkosaaan Herry, Yudi Kurnia, kepada wartawan mengatakan:

"Berarti JPU sangat-sangat empati terhadap korban dan keluarga korban maupun publik. Saya mengapresiasi ini. Walaupun sebetulnya kalau ada yang lebih berat lagi, kalau ada lagi ya disiksa dulu, sebelum mati ditersiksakan dulu. Tapi, itu nggak ada aturannya."

JPU (jaksa penuntut umum) kasus itu adalah Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep N. Mulyana. Pada sidang di PN Bandung Selasa, terdakwa Herry mendapat enam tuntutan:

Yakni, hukuman mati. Kebiri kimia. Publikasi terdakwa. Membayar restitusi kepada korban, total Rp 331.527.186. Membubarkan ponpes lokasi perkara. Menyita seluruh aset Herry untuk dilimpahkan kepada negara.

Yang unik, terdakwa sudah dituntut dihukum mati, masih juga dikebiri. Seumpama, vonis hakim kelak sama dengan tuntutan jaksa, mana dilaksanakan lebih dulu? Kebiri dulu, lantas hukum mati?

Kebiri diatur di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Pasal 9 berbunyi: Hukuman kebiri kimia dilakukan setelah terpidana menjalani hukuman pokok. Dalam kasus Herry (seandainya tuntutan jaksa sama dengan vonis), setelah Herry didor, mati.

Soal kerancuan itu, Kasipenkum Kejati Jabar Dodi Gazali Emil kepada wartawan Rabu mengatakan:

"Tentang kebiri, ini kan tuntutan. Tuntutan itu kan belum putusan. Kalau hakim memutus dia seumur hidup atau hitungan 20 tahun, ya kami juga sudah menuntut kebiri."

Artinya, Herry dikepung dengan banyak tuntutan jaksa. Juga, dikeroyok dengan dukungan (vonis mati) oleh para pejabat negara.

Tapi, hakim dilarang terpengaruh intervensi publik dalam menjatuhkan vonis. Kebebasan hakim mutlak.

Kebebasan hakim memvonis perkara adalah pesan konstitusional pasal 24, pasal 24 A, dan pasal 24C UUD 1945.

Ada beberapa perkara hukum di Indonesia, hakim menjatuhkan vonis sesuai desakan publik. Disebut social justice. Padahal, seharusnya hakim memvonis berdasarkan legal justice.

Di kasus itu, tekanan terhadap hakim datang dari ”orang-orang besar”. Seru. Kita tunggu vonisnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: