Warisan Ibu Kota

Warisan Ibu Kota

Harian Disway - TIDAK ada dalam janji kampanye. Mulai tercetus 2019, di awal periode kedua Presiden Jokowi. Tapi, kini ibu kota baru itu sudah di depan mata.

Bisa dibilang mulai terlihat. Nama sudah ada: Nusantara. Payung hukum RUU IKN (ibu kota negara) sudah disahkan di sidang paripurna DPR. Lahan di Kaltim sudah siap. Desain Istana Negara yang menyerupai garuda juga sudah siap untuk diwujudkan.

Bahkan, Jokowi bertekad, perayaan Hari Kemerdekaan dua tahun mendatang, 17 Agustus 2024, sudah dirayakan di sana. Tahun terkahir pemerintahan Jokowi.

Dari berbagai referensi yang saya baca, itu bisa jadi proses pembangunan ibu kota tercepat (bila sesuai target). Lebih cepat daripada Pakistan atau Brasil, yang selama ini dianggap lebih cepat. Mereka lima tahun.

Myanmar yang memindahkan ibu kotanya dari Yangon ke Naypyidaw juga membangun kotanya sekitar 4 hingga 5 tahun. Ambisi besar Presiden Than Swee saat itu. Jalan raya pun ada yang 20 jalur. Berbagai fasilitas seperti lapangan golf ada empat.

 Total kotanya seluas 4.800 kilometer persegi. Atau 480.000 hektare. Kini, setelah 16 tahun, kota itu dijuluki kota hantu karena penduduknya yang terlalu sedikit di kota yang luas.

Sementara itu, ibu kota negara Nusantara dirancang seluas 256.142 hektare. Luas Jakarta 66.233 hektare. Berarti, Nusantara empat kali lipat luas Jakarta. Semoga tetap menggeliat, tidak bernasib seperti Naypyidaw.

Saya pernah berkunjung ke Islamabad, ibu kota Pakistan. Saya sempat ke kantor KBRI, yang berada di kawasan khusus area diplomatik. Semua kantor kedutaan berdiri di situ. Jalan luas dan penghijauan begitu terasa. Tentu, sistem keamanan kantor dan permukiman diplomat sangat terjaga.

Itulah kelebihan ibu kota baru yang pembangunannya mulai dari nol. Semua bisa tertata. Islamabad pun membagi kawasannya menjadi delapan zona. Kawasan administrasi pemerintahan sendiri. Diplomatik juga. Pendidikan, komersial, permukiman, industri, dan kawasan hijau.

Islamabad itu pengganti Karachi. Alasan pindahnya persis dengan Indonesia. Kota lama yang sangat sesak serta ingin mengembangkan kawasan lain. Yang terbaru, di balik nama Islamabad yang berarti kota muslim yang makmur, sempat muncul petisi mengganti nama kota itu. Menjadi Islamagood. Karena bad berarti jelek dalam bahasa Inggris.

Kini nama Nusantara yang baru diumumkan pun langsung menimbulkan pro dan kotra. Sejarawan J.J. Rizal angkat bicara. Nusantara adalah terminologi Jawa. Jawa-sentris. Kata yang ditemukan di kitab Nagarakertagama itu menggambarkan wilayah luar Jawa yang dikuasai Majapahit. Bahkan, konteks Nusantara saat itu termasuk Singapura, Malaysia, dan Brunei. Biarlah itu menjadi perdebatan hingga menemui titik kesepahaman.

Yang pasti, Jokowi bergerak cepat untuk merealisasikan ibu kota baru itu. UU yang menjadi payung hukum pun dibuat cepat. Untungnya, koalisi pemerintah sangat besar di DPR yang membuat proses seperti ngebut di jalan tol. Kritik dari PKS, oposisi, bisa diatasi.

Namun, tetap membawa potensi gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bisa-bisa bernasib seperti UU Cipta Kerja. Dianggap tak banyak melibatkan publik dalam pembahasannya. Sejumlah tokoh pun sudah siap-siap di pintu MK, termasuk ekonom Faisal Basri.

Pendanaan? Di awal hanya dipatok APBN menalangi 19 persen dari Rp 466 triliun yang dibutuhkan. Yang membuat heboh ketika banyak media memberitakan, APBN akan menanggung 53,5 persen. Itu dikutip dari situs IKN sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: