Nusantara
Mohammad Hatta lebih memilih nama Indonesia ketimbang Nusantara. Nama Indonesia kali pertama disebut dalam jurnal yang terbit pada 1850 di Singapura oleh antropolog Inggris, James Richardson Logan dan George Samuel Windsor. Nama Indonesia dipilih Hatta karena lebih menggambarkan karakter wilayah dan budaya yang lebih egaliter.
Hatta tidak memilih nama Nusantara karena ada kesan ekspansionistis dan kolonialistis, yang dianggap tidak sesuai dengan semangat perjuangan nasional yang ingin membebaskan diri dari penjajahan Belanda yang imperialistis.
Nama Indonesia kemudian menjadi nama resmi negara baru yang lahir pada 1945. Nama Nusantara tetap dipakai sebagai nama sebuah entitas budaya dan histori yang lebih netral dari pengaruh politik. Nama Nusantara tidak hanya menjadi milik Indonesia, tetapi juga bisa didaku oleh wilayah-wilayah Malaysia, Singapura, dan New Guinea.
Penjelajah Inggris Alfred Russel Wallace menjelajahi wilayah Nusantara dan meneliti tanaman dan hewan-hewan khas Nusantara pada 1869. Petualangannya yang penuh warna kemudian dituangkan ke buku The Malay Archipelago yang menjadi masterpiece internasional sejajar dengan On the Origin of Species karya Charles Darwin yang terbit 1859.
Petualangan Wallace menghasilkan teori ”Wallace Line” (Garis Wallace) yang membagi fauna Indonesia dalam garis memanjang, dari utara sampai ke selatan, dari Selat Makassar sampai Pulau Bali dan Lombok. Garis itu memisahkan wilayah geografi fauna Asia atau Paparan Sunda dengan Australasia. Wilayah Nusantara menurut Garis Wallace membentang sampai ke Australia dan Asia.
Karena itu, pemakaian nama Nusantara menjadi ibu kota bisa menimbulkan kerancuan dan komplikasi sejarah. Pemakaian nama Nusantara berpotensi membingungkan karena kurang mempertimbangkan referensi sejarah.
Di era Orde Baru, Presiden Soeharto sangat berambisi melakukan jawanisasi dengan memaksakan budaya dan nama-nama Jawa menjadi nama tempat maupun gedung. Maka, nama-nama seperti ”Graha Sabha Wiraloka” menjadi nama gedung di daerah-daerah seperti Papua yang terdengar asing dan sulit diucapkan lidah lokal.
Nama Nusantara memunculkan kesan jawanisasi yang menjadi paradoks bagi obsesi Jokowi yang ingin menghilangkan sentralisme Jawa. Namun, di bawah alam sadarnya, Jokowi tetap orang Jawa yang secara tidak sadar menginginkan dominasi budaya Jawa atas budaya lain.
Muncul beberapa usul sebagai alternatif nama ibu kota baru. Fadli Zon mengusulkan ”Jokowi” sebagai nama ibu kota baru, seperti nama ibu kota Kazhakstan ”Nursultan” dari nama presidennya, Nursultan Nazarbayev. Amerika Serikat juga punya ibu kota dengan nama Washington, presiden pertama Amerika Serikat.
Bisa juga memakai nama ”Jokowi-grad”, seperti Lenin-grad untuk memberi nama ibu kota baru Uni Soviet setelah Revolusi Komunis 1917. Atau bisa memakai nama ”Jokowi-pura” seperti nama Tembagapura yang berarti kota tembaga.
Jokowipura berarti ”Kota Jokowi”. Tapi, ingat, ”pura”-nya sekali saja, jangan diulang dua kali, nanti bisa kena pasal ujaran kebencian. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: