Waspadai Inflasi Tinggi AS

Waspadai Inflasi Tinggi AS

AMERIKA Serikat (AS) mencatat inflasi tahunan yang sangat tinggi sepanjang 2021. Kenaikan agregat barang-barang di negeri adidaya tersebut mencapai 7 persen. Itu adalah inflasi tertinggi AS dalam 40 tahun terakhir atau sejak Juni 1982.

Sepanjang 2021, inflasi di AS memang terus meningkat setiap bulan. Pada Januari, inflasi year-on-year masih di kisaran 1,4 persen. Namun, tingkat inflasi terus meningkat hingga mencapai 5,4 persen pada Mei. Oktober, inflasi meningkat tajam lagi ke 6,2 dan 6,8 pada November.

Pemicu utama inflasi tinggi itu adalah energi (33,3 persen), meski tak sebesar pada November. Itu tak lepas dari kenaikan harga minyak mentah yang cukup tinggi selama Desember dan sepanjang tahun. Selain itu, kurangnya tenaga kerja dan meningkatnya permintaan sebagai dampak pemulihan akibat Covid-19.

Diperkirakan, tekanan inflasi di AS masih akan dirasakan hingga pertengahan 2022. Meskipun, AS melakukan berbagai upaya untuk menekan inflasi. Termasuk, antara lain, menaikkan tingkat bunga untuk mengurangi permintaan agregat di masyarakat.

Tingginya inflasi AS itu harus diwaspadai pemerintah RI. Sebab, dalam jangka pendek hingga menengah, kenaikan harga barang-barang di AS tersebut akan berdampak kepada Indonesia. Ada dua jalur transmisi dampak inflasi tinggi tersebut. Yaitu, hubungan perdagangan Indonesia-AS dan moneter.

Pada transmisi perdagangan, impor Indonesia yang tinggi dari AS bakal mengakibatkan harga barang-barang dari AS akan meningkat. Kenaikan harga bahan baku dan barang modal akan berdampak pada biaya produksi yang harus ditanggung produsen dalam negeri. Itu akan memperparah kenaikan yang sudah terjadi akibat kelangkaan kontainer dan kapal pengiriman dari AS.

Selama ini barang-barang dari AS cukup mendominasi impor Indonesia. Secara umum, impor dari AS menduduki peringkat kedua atau ketiga setelah Tiongkok. Pada Desember 2021, misalnya, impor nonmigas dari AS mencapai USD 213 juta. Itu merupakan angka tertinggi ketiga setelah Tiongkok (USD 456,8 juta) dan Australia (USD 300,1 juta). Total impor selama Desember mencapai USD 21,36 miliar atau Rp 305,94 triliun.

Saat ini inflasi di Indonesia masih cukup rendah. Berdasar data di Badan Pusat Statistik, inflasi tahun 2021 hanya 1,68 persen. Itu dipengaruhi oleh permintaan domestik yang belum kuat sebagai dampak pandemi Covid-19. Pembatasan sosial yang berdampak pada rendahnya mobilitas masyarakat membuat rendahnya permintaan agregat.

Meski begitu, inflasi AS yang cukup tinggi tetap harus diwaspadai. Dalam jangka menengah, kenaikan biaya produksi karena kenaikan harga bahan baku dan barang modal pasti akan terjadi. Pada saat yang sama, daya beli masyarakat justru masih lemah sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang belum juga selesai.

Dari sisi moneter, inflasi yang tinggi di AS pasti akan direspons dengan upaya-upaya menekan permintaan agregat. Tidak tertutup kemungkinan, The Fed akan menaikkan tingkat bunga pada triwulan II atau III 2022. Jika itu terjadi, dampak moneternya akan cukup besar, karena akan terjadi arus modal ke AS.

Sebelum menaikkan tingkat bunga, mungkin The Fed akan mempercepat tapering off  nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini masih senilai USD 15 miliar per bulan. Dengan nilai QE USD 120 miliar, masih cukup waktu untuk mencapai QE nol dan The Fed menaikkan tingkat bunga.

Meski begitu, jika The Fed mempercepat tapering hingga USD 30 miliar per bulan, QE akan menjadi nol hanya dalam waktu empat bulan ke depan. Karena itu, sangat mungkin The Fed akan menaikkan tingkat bunga dalam beberapa bulan ke depan yang akan berdampak pada pasar keuangan global. Termasuk pasar keuangan Indonesia.

Posisi Indonesia atas AS memang bisa selalu tidak menguntungkan dari salah satu dua transmisi itu, perdagangan dan moneter. Saat ekonomi AS membaik, pasar keuangan Indonesia akan berdampak akibat adanya capital outflow dari pasar keuangan. Apalagi, pasar keuangan kita didominasi hot money yang memang sewaktu-waktu masuk atau keluar. Jika itu yang terjadi, rupiah akan mengalami tekanan karena investor akan mengonversi rupiahnya ke dolar.

Sebaliknya, jika ekonomi AS lagi memburuk, ekspor Indonesia akan terganggu. Ekonomi buruk, daya beli turun, dan permintaan impor, termasuk dari Indonesia, akan menurun. Dampaknya, selain penerimaan impor eksporter Indonesia turun, devisa masuk akan menurun sehingga pasokan dolar akan menurun. Itu juga bisa berdampak tidak baik karena juga akan membuat rupiah makin tertekan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: