Profil Agus ’’Koecink’’ Sukamto, Dosen STKW yang Juga Seniman Top

Profil Agus ’’Koecink’’ Sukamto, Dosen STKW yang Juga Seniman Top

Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW), satu-satunya kampus seni di Surabaya, memiliki banyak dosen merangkap seniman top. Salah seorang di antaranya adalah Agus Koecink. 

 

DALAM dunia seni rupa, Agus ’’Koecink’’ Sukamto dihormati berkat karyanya sebagai pelukis dan kurator. Namun, di kalangan mahasiswa STKW, Agus adalah pribadi yang akrab dan melebur. ’’Salah satu kiat saya memang mengajak para mahasiswa menjadi kawan sharing atau diskusi,’’ ujarnya.

Sebagai pengamat seni, ia selalu menyuguhkan dinamika perkembangan seni rupa kepada mahasiswa. Terlebih pada era global, perkembangan seni rupa kini berada di tepi fase baru. Perubahan sedemikian cepat, diiringi dengan kemajuan teknologi. Menurut Agus, mahasiswa harus memahami dinamika tersebut. Agar tak ketinggalan zaman.

Seni rupa kini tak hanya berbentuk dua atau tiga dimensi. Seni jenis baru disajikan dalam beragam media. Misalnya, new media art, webart, internet art, dan yang terbaru adalah NFT (non-fungible token). ’’Belum lagi sekarang ada virtual gallery, museum virtual, dan lain-lain. Semua itu telah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari,’’ ujarnya.

AGUS KOECINK bersama para mahasiswa.

Agus menyebut bahwa teknologi manusia pada zaman kini berada di ambang persamaan antara sains dan seni. Berbagai kegiatan kesenian bisa diakses melalui dunia maya. Yang pada dasarnya adalah perkembangan dari sains itu sendiri.

’’Yakni seni yang didasarkan pada teknologi, juga perkembangan dari new media art. Itu sangat mempengaruhi institusi atau perupa untuk mencapai jaringan global," papar pria asli Tulungagung itu.

Karena itu, dalam mata kuliah manajemen seni dan sosiologi seni di STKW, ia mengajak para mahasiswa untuk menyikapi hal tersebut. Menurutnya, mahasiswa yang mungkin akan jadi seniman perlu tahu. Mereka harus membangun networking secara individual melalui dunia maya. Tapi juga tak boleh sepenuhnya meninggalkan aktivitas seni offline. Sebab, dialog tatap muka masih efektif untuk saling mempromosikan diri, institusi, atau karya.

Maka, bagi Agus, dunia seni, juga pendidikan seni, membutuhkan kesiapan. ’’Ya harusnya bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Bisa dengan cara memasukan seni ke dalam kurikulum agar menjadi bagian dalam ilmu pengetahuan,’’ ungkap suami seniman Jenny Lee itu.

Mahasiswa harus dapat mengolaborasikan antara yg lama dan baru, melakukan inovasi-inovasi sesuai dengan tujuan jangka panjang. Supaya, kata Agus, ilmu yang didapat dari kampus masih berguna dan bermanfaat. Terlebih, mereka berada pada zaman yang terus bergerak

Agus memiliki beberapa kiat mengajar. Yang membuatnya disukai oleh para mahasiswa. Pertama, ia menjadikan mahasiswa sebagai teman diskusi. Kedua, selalu update terhadap perkembangan zaman, khususnya dunia seni rupa. Ketiga, memecahkan persoalan bersama mahasiswa. Keempat, mengajak mahasiswa untuk selalu berpikir kritis.

Ia juga selalu mendorong mahasiswanya untuk berani mengeluarkan ide, gagasan, dan wacana apapun yang mereka punyai. Berikutnya, ia selalu mengajak mahasiswa untuk belajar pada fenomena alam demi membuahkan hasil karya, juga belajar pada orang yang ahli di bidangnya. Semua itu membuat kelas Agus selalu seru. Tak monoton atau membosankan.

DENGAN TELATEN, Agus Koecink menunjukkan wayang kulit kepada anak-anak di Rouen, Prancis dalam sebuah workshop ketika menjalani residensi di sebuah museum di Rouen.

Lima Tahun di Rouen

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: