Awalnya Tukang Beli Minuman

Awalnya Tukang Beli Minuman

Hidup wayang potehi juga berada di tangan para sehu (dalang). Hingga kini mereka masih setia memainkan kesenian yang berasal dari Fujian, Tiongkok, tersebut. Meskipun, dalang-dalang itu tak punya darah Tionghoa.

SUDARTO tampak sibuk, Rabu siang (26/1) itu. Badannya yang kurus lagi liat tidak mau diam. Beberapa kali ia keluar masuk mobil besar yang mengangkut jae lo (panggung) wayang potehi milik kelompok Fu He An yang dibina Toni Harsono.

Hari itu, Fu He An tampil di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jombang. Dan Sudarto ikut tampil. ’’Saya ndak ndalang. Dapuk panjak (jadi pemain musik, Red),’’ ucap lelaki yang akrab dipanggil Keke itu.

Yang mendalang siang itu adalah Widodo Santoso. Sedangkan Keke memainkan terompet. Ia menyebut alat musik itu sebagai tjwe. Berdasar referensi, dalam bahasa mandarin, terompet yang dimainkan Keke siang itu adalah suona (嗩吶). Itulah alat musik yang berakar dari Timur Tengah. Di zaman Dinasti Han, sekitar 200 tahun sebelum Masehi hingga 200 masehi, suona mulai muncul di Tiongkok. Ia dipakai sebagai salah satu pengiring peribadatan.

Keke, lelaki dengan wajah penuh kerut dan alis tebal memutih tersebut, tampak sudah tahu apa yang dilakukannya. Seperti halnya para anggota Fu He An yang lain. Mereka tidak saling mengomando. Tanpa ada perintah-perintah arahan. Semuanya bergerak sebagaimana kebiasaan mereka selama ini.

Dibantu Leo Agustinus, pemuda 30 tahun yang berbadan gempal, Keke merakit meja hitam yang akan menjadi alas panggung. Setelah selesai, ia memainkan tjwe yang akan dimainkannya. Memastikan suaranya oke.

Keke memang bukan orang baru di dalam jagat wayang potehi. ’’Saya belajar ndalang itu mulai 1979,’’ ucapnya. Ketika itu, Keke masih remaja. Masih berusia sekitar 15 tahun. ’’Saya belajar langsung dari Gan Co Co,’’ kata lelaki 58 tahun itu.

Gan Co Co adalah dalang wayang potehi kenamaan pada zamannya. Ia orang Fujian yang hijrah ke Jawa. Sama seperti Tok Su Kwie, kakek Toni Harsono, yang juga bermigrasi dari provinsi di sisi tenggara Tiongkok tersebut.

Tentu, awalnya Keke tidak benar-benar berniat ingin menekuni wayang potehi. Pria asal Sidotopo Wetan Indah, Surabaya, tersebut sekadar diminta membantu para kru wayang potehi yang bermarkas di Surabaya. ’’Ya diminta belikan minuman, belikan makan, kalau mereka latihan,’’ tutur Keke.

Remaja yang cekatan itu menarik minat para pelaku seni tersebut. Keke pun mulai menjadi kru tetap. Ia kerap diajak manggung. Sampai ke Tegal. Atau ke Tuban. Juga kota-kota lain.

Lama kelamaan, Keke menjadi asisten dalang (jiju). Itulah orang yang mendampingi dalang saat bermain. Asisten dalang ikut memainkan wayang. Tetapi sama sekali berdialog. Jiju bergerak sesuai komando dalang. Menyesuaikan dialog yang diucapkan sang sehu.

TIUPAN TEROMPET Keke mengiringi penampilan Fu He An di Jombang, 26 Januari.
(Foto: BOY SLAMET-HARIAN DISWAY)

Setelah menjadi asisten dalang, Keke lalu diajari memainkan musik. Ini adalah ’’jenjang karir’’ yang lazim di dunia wayang potehi. Awalnya dari alat musik perkusi. Lambat laun memainkan melodi.

’’Latihan mulai 1979, saya baru bermain tahun 1986,’’ ucap Keke.

Sejak itu, Keke mulai fokus bermain wayang potehi. Dan meskipun ia bukan orang Tionghoa, keluarganya tak melarang. Sebab, Keke mungkin sulit mencari pekerjaan formal lain. ’’Saya itu ndak tamat SD,’’ katanya.

Ia mengakui, pekerjaan sebagai dalang wayang potehi tidak bisa dijadikan sandaran hidup satu-satunya. Kalau ada job, ia akan dapat duit. Dan untungnya, tampil wayang potehi—terutama di kelenteng-kelenteng—tidak akan selesai dalam 1-2 hari. Bisa berbulan-bulan. Sampai cerita selesai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: