Bukan dari Tampilan, Ini 5 Ciri Penceramah Radikal Menurut BNPT

Bukan dari Tampilan, Ini 5 Ciri Penceramah Radikal Menurut BNPT

PERANG terhadap aksi radikalisme di Indonesia terus dilakukan. Bahkan, Presiden Joko Widodo dalam Rapat Pimpinan TNI - Polri di Mabes TNI, Jakarta, Selasa, (1/3) menyinggung soal adanya penceramah yang menyelipkan pesan-pesan radikalisme. Pernyataan Jokowi ini menjadi peringatan kuat meningkatkan kewaspadaan nasional.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid mengatakan, sejak awal lembaganya sudah menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini. Sebab, radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme.

"Radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama”, tegas Nurwakhid seperti dikutip dari Disway National Network (DNN), Sabtu (5/3).

Nurwakhid membenarkan, pemerintah memang perlu mewaspadai pesan-pesan radikalisme yang disampaikan lewat para penceramah yang sengaja memanipulasi dan mempolitisasi agama. Menurut Nurwakhid, untuk mengetahui penceramah radikal, perlu mengurai beberapa indikator yang bisa dilihat dari isi materi. Jadi tidak bisa menilai pencerahan itu radikal dari sisi tampilan.

BNPT menyebut setidaknya ada lima indikator penceramah radikal. Pertama, mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro idieologi khilafah transnasional.

Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.

Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidak percayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara. Hal itu lewat propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.

Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).

"Kelima, biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifaan lokal keagamaan," ujarnya.

Oleh karena itu Nurwakhid meminta masyarakat mengenali ciri-ciri penceramah dengan tidak terjebak pada tampilan, tetapi isi ceramah dan cara pandang mereka dalam melihat persoalan keagamaan. "Isinya selalu dibenturkan dengan wawasan kebangsaan, kebudayaan, dan keragaman," tuturnya.

Sejalan dengan itu, Nurwakhid juga menegaskan strategi kelompok radikalisme memang bertujuan untuk menghancurkan Indonesia lewat penanaman doktrin dan narasi ke tengah masyarakat.

“Ada tiga strategi yang dilakukan oleh kelompok radikalisme. Pertama, mengaburkan, menghilang bahkan menyesatkan sejarah bangsa. Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketiga, mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan Isu SARA”, urai Nurwakhid.

Strategi ini dilakukan dengan mempolitisasi agama yang digunakan untuk membenturkan agama dengan nasionalisme dan agama dengan kebudayaan luhur bangsa. Proses penanamannya dilakukan secara massif di berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk melalui penceramah radikal tersebut.

“Inilah yang harus menjadi kewaspadaan kita bersama dan sejak awal untuk memutus penyebaran infiltrasi radikalisme ini salah satunya adalah jangan asal pilih undang penceramah radikal ke ruang-ruang edukasi keagamaan masyarakat ”, pungkasnya.(Gunawan Sutanto)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: