Simalakama Harga Minyak
SERANGAN Rusia ke Ukraina memicu kenaikan harga minyak dunia. Dalam beberapa hari ini, harga minyak mentah jenis Brent secara reli naik tajam. Kemarin harga Brent telah mencapai USD 139,13 per barel. Itu adalah harga tertinggi dalam 13 tahun terakhir.
Kenaikan harga itu luar biasa. Sebab, dalam dua tahun pandemi ini, harga minyak sudah naik tujuh kali lipat atau 700 persen. Pada akhir Maret 2020 –saat awal pandemi Covid– harga minyak anjlok hingga sekitar USD 20 per barel.
Membaiknya pandemi telah mengerek harga minyak. Namun, serangan Rusia ke Ukraina dan rencana embargo Rusia telah menyebabkan kekhawatiran anjloknya pasokan minyak dunia. Harga minyak pun melesat.
Jika perang Rusia vs Ukraina tak kunjung berhenti dan Rusia benar-benar diembargo, harga minyak bakal terus membubung. JP Morgan memprediksi harga minyak menembus USD 185 per barel. Prediksi lain menyebutkan, harga minyak bisa tembus USD 200 per barel. Bahkan, USD 300 jika Rusia tak lagi bisa mengekspor minyaknya.
Bagi Indonesia, melonjaknya harga minyak itu jadi simalakama. Menggembirakan, karena otomatis ekspor minyak kita bakal melonjak. Bukan pada kuantitasnya, melainkan omzetnya. Apalagi, kenaikan harga minyak itu juga mengerek harga komoditas energi yang lain. Gas dan batu bara. Bahkan juga komoditas ekspor andalan lain seperti emas dan kelapa sawit (CPO).
Harga batu bara kini telah menyentuh angka USD 446 per ton. Secara month-to-month, harga batu bara telah naik 38,22 persen. Bahkan, secara year-to-date, harga batu bara telah naik 233 persen. Harga gas juga demikian. Harga gas Contract Price Aramco (CPA) mencapai USD 775 per metrik ton.
Hal yang sama terjadi pada komoditas emas. Kemarin harga emas sudah menembus USD 2.018 per troy ounce (31,10 gram). Harga emas Antam pun sudah menembus Rp 1 juta per gram. Dalam 30 hari terakhir, harga emas telah naik USD 208 atau 11 persen.
Jika menggembirakan dari sisi ekspor, kenaikan tajam harga minyak bisa berdampak buruk dari sisi devisa. Indonesia adalah net importir minyak. Keperluan setiap hari mencapai 1,4 juta barel. Sementara itu, produksi minyak hanya sekitar 800 ribu barel. Artinya, pemerintah harus mengimpor sekitar 600 ribu barel per hari. Berapa devisa terkuras untuk keperluan itu.
Dengan harga rata-rata sekitar USD 60 per barel tahun 2021, neraca perdagangan migas kita defisit USD 13,25 miliar. Bisa dibayangkan, berapa defisit neraca perdagangan migas jika harga minyak mencapai USD 140 per barel.
Selain itu, model subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) membuat subsidi membengkak. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, subsidi energi selama Januari saja telah mencapai Rp 10,2 triliun. Naik empat kali lipat dari periode yang sama 2021.
Dalam perhitungan simulasi harga, setiap kenaikan harga minyak USD 1 per barel akan berdampak pada kenaikan subsidi hingga Rp 4,25 triliun. Perinciannya, kenaikan subsidi LPG Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM Rp 2,65 triliun.
Bisa dihitung berapa kenaikan beban APBN dengan kenaikan harga minyak yang mencapai lebih dari USD 30 dolar. Menurut data Kementerian Keuangan, subsidi BBM dan LPG 3 kg dalam APBN 2022 sebesar Rp 77,5 triliun. Subsidi itu didasarkan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) sebesar USD 63 per barel.
Saat ini ICP telah berada di kisaran USD 95,45 per barel. Harga itu telah USD 32,45 di atas ICP. Artinya, subsidi bisa membengkak Rp 137 triliun jika rata-rata harga ICP tahun 2022 USD 95,45. Padahal, potensi kenaikan ICP masih terbuka lebar lantaran penguatan harga minyak mentah dunia belum mencapai puncaknya.
Bagi pemerintah, langkah yang diambil tidak mudah. Jika tidak menaikkan harga BBM –terutama Pertamax dan Pertalite–subsidi akan membengkak. Selama ini, Pertamina baru menyesuaikan harga jual BBM jenis Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex. Itu tidak terlalu signifikan karena sebenarnya 64 persen konsumsi BBM justru ada pada Pertamax dan Pertalite.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: