Konvoi Khilafah sampai Bom Borobudur
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
Heboh, pimpinan Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Baraja, 78, ditangkap polisi, Selasa (7/6), pukul 06.30 WIB. Langsung tersangka. Padahal, Khilafatul berdiri 1997 atau seperempat abad lalu, dan aman-aman saja.
KABIDHUMAS Polda Metro Jaya Kombespol Endra Zulpan kepada pers, Selasa (7/6), mengatakan:
Baraja dijerat Pasal 59 ayat 4 juncto Pasal 82 ayat 2 UU RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas dan Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Sangkaan utama, UU No 16 Tahun 2017 tentang Ormas, pasal 59, ayat 4, bunyinya begini, Ormas dilarang:
a) Menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya, atau keseluruhannya, dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang.
b) Melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c) Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Bandingkan dengan wawancara Baraja yang dimuat Gatra, 16 Oktober 2019, atau dua setengah tahun silam, Baraja mengatakan begini:
”Coba lihat, ada organisasi lain yang benderanya bertulisan Khilafatul, tapi organisasinya ditutup pemerintah. Sedangkan, kami jelas-jelas menulis Khilafatul di plang kantor kami. Tapi tidak ditutup pemerintah. Karena Khilafatul Muslimin itu rahmatan lil alamin.”
Artinya, Baraja ditangkap tiba-tiba. Ia ditangkap, semestinya di 2017, saat UU nomor 16 diberlakukan.
Ataukah, selama ini pemerintah tidak tahu adanya organisasi Khilafatul Muslimin. Berkantor di Jalan W.R. Supratman, Teluk Betung, Bandar Lampung. Karena organisasi itu tidak terdaftar di Kemenkum HAM.
Uniknya, Khilafatul Muslimin kok bisa punya yayasan? Yang membiayai aneka kegiatan organisasi itu. Berapa arus kasnya? Dari mana sumber dananya?
Masyarakat menduga, penangkapan Baraja terkait konvoi khilafah di Cawang, Jakarta Timur, Minggu, 29 Mei 2022, pukul 09.14 WIB.
Konvoi itu melibatkan puluhan motor. Membawa poster dan bendera Khilafah Islamiyah. Ada beberapa poster bertulisan: ”Khilafatul Muslimin Wilayah Jakarta Raya Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyah”.
Poster lain: ”Jadilah Pelopor Penegak Khilafah ala Minhajin Nubuwwah”.
Para pemotor mengenakan seragam warna dominan hijau. Itu direkam video, diunggah di medsos. Lalu viral. Lalu, polisi fokus menyelidiki Khilafatul Muslimin. Akhirnya Baraja ditangkap.
Tapi, Polri menegaskan, penangkapan Baraja bukan gegara konvoi khilafah.
Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi kepada pers, Selasa (7/6), mengatakan: ”Ini jangan sampai salah paham. Kami tidak fokus terhadap konvoinya. Ada sesuatu yang lebih besar dari ormas ini.”
Hengki: ”Ormas Khilafatul Muslimin dinilai telah melanggar aturan bernegara. Sebab, ormas itu aktif menyebarkan ajakan untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi negara.”
Maka, balik lagi ke awal tulisan ini. Ormas itu sudah lahir seperempat abad lalu. Tanpa izin. Punya yayasan. Dan, selama ini tidak ditutup. Sehingga puluhan pemuda itu merasa bebas konvoi. Legal.
Tapi, Baraja mantan narapidana teroris. Sudah dua kali dipenjara sebagai teroris. Ia teroris lama. Dihukum pertama, penjara tiga tahun, karena kasus terorisme Komando Jihad di tahun 1979 (ketika usia Baraja 35 tahun).
Kedua, dihukum 15 tahun penjara, di kasus terorisme pengeboman Candi Borubudur, Senin, 21 Januari 1985 (saat usia Baraja 41 tahun). Itu menghancurkan sembilan stupa Borobudur.
Bom di Candi Borobudur tidak mungkin terungkap jika tidak terjadi ledakan di bus Pemudi Express yang sedang melaj, dari Malang menuju Denpasar, Bali.
Ledakan bus Pemudi terjadi di Desa Curah Puser, sekitar 20 kilometer sebelah barat Banyuwangi, 16 Maret 1985, atau hampir dua bulan setelah bom di Candi Borobudur.
Bus Pemudi hancur berantakan akibat bom. Menewaskan tujuh penumpang, termasuk sopir. Tubuh mereka hancur.
Bom di bus Pemudi tidak direncanakan. Sasaran sesungguhnya: Pantai Kuta, Bali (jauh sebelum terjadi Bom Bali).
Nah, bomnya dibawa pelaku yang naik bus Pemudi. Bom jenis TNT dimampatkan di paralon ukuran diameter 30 sentimeter. Dimasukkan tas ransel. Diletakkan di depan, tepat di atas mesin bus. Mungkin, karena panas mesin, bom meledak.
Tapi, (ini yang membuat terungkap) beberapa saat sebelum bus meledak, seorang penumpang pria minta turun. Padahal, tujuannya Denpasar. Namun, bus berhenti dan pria itu turun. Sesaat kemudian bus meledak.
Warga sekitar jadi curiga dengan penumpang yang turun itu. Lantas, melapor ke polisi. Dan, polisi bergerak cepat, menangkap pria itu. Ia-lah Abdulkadir Ali Al-Habsyi. Si pembawa bom.
Dari situ, semua kasus terorisme terungkap. Bom di Candi Borobudur. Juga, bom di gereja Magelang.
Dikutip dari majalah Tempo edisi 48, 25 Januari 1986, tersangka ada tiga orang: Abdulkadir Ali Al-Habsyi, Achmad Muladawila, dan Abdul Qadir Baraja.
Mereka diadili di Pengadilan Negeri Malang, dimulai 15 Januari 1986.
Mereka dituduh terlibat rangkaian empat pengeboman: Gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT). Gereja Sasana Budaya Katolik, Malang. Candi Borobudur. Bus Pemudi Express di Banyuwangi.
Perinciannya: Bom di gedung SAAT dan gereja Katolik Malang (bersamaan) pada malam Natal, 24 Desember 1984. Bom di Candi Borobudur, 21 Januari 1985. Bom di bus Pemudi, 16 Maret 1985.
Tiga terdakwa diadili di ruang sidang yang berlainan. Penjagaan sangat ketat. Yang bisa masuk ke ruang sidang, untuk tiga sidang itu, tak sampai seratus orang. Di luar gedung ada sekitar seribu orang yang ingin nonton sidang.
Baraja akhirnya dihukum penjara 16 tahun. Ia bebas pada 2000. Tapi, saat berada di dalam penjara pada 1997, ia mendirikan Khilafatul Muslimin. Yang disoal Polri sekarang.
Khilafatul Muslimin tidak mungkin dibubarkan pemerintah. Sebab, ormas itu belum terdaftar di Kemenkum HAM.
Lha, kok bisa ”hidup” seperempat abad? Pertanyaan itu sulit dijawab. Oleh anggota masyarakat biasa.
Tapi, itu bisa dijawab pihak pemerintah.
Pun, pemerintah di bawah pimpinan siapa? Sebab, Khilafatul Muslimin ada sejak Indonesia dipimpin Presiden ke-2 RI. Sedangkan sekarang Indonesia dipimpin Presiden ke-7 RI. Sudah hidup selama enam presiden.
Maka, rentetan terorisme di Indonesia sudah berakar lama. Menjalar ke mana-mana. Yang kini diupayakan diberantas. Lebih baik terlambat, daripada... (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: