Desa Wisata Dusun Jeding (1): Kebun Jeruk dengan Konsep Kejujuran

Desa Wisata Dusun Jeding (1): Kebun Jeruk dengan Konsep Kejujuran

Dibsuwanto saat berdiskusi dengan Welly (tengah) dan Juliarto (kanan).-Michael Fredy Yacob-

Kebun jeruk itu menerapkan sistem kejujuran. Masuk tidak perlu bayar. Jika pengunjung makan buah di lokasi kebun, juga tidak perlu bayar. Nanti, kalau pengunjung membawa pulang jeruk, itulah yang harus dibayar. Harganya cukup terjangkau. Hanya Rp 17 ribu per kilogram.

Itu juga tidak ada petugas yang menjaga. Pengunjung menimbang sendiri. Nantinya, uang untuk bayar jeruk itu diletakkan sendiri ke dalam tas. Semua dilakukan serbasendiri. Dibsuwanto tidak pernah mengawasi. Di sore hari, ia datang ke kebun untuk melihat uang dalam tas tersebut.

”Selalu ada uang dalam tas ini. Tapi, tidak setiap hari saya ke sini. Terkadang, dua hari sekali,” ucapnya. Biasanya, pengunjung ketika ingin datang hanya menghubungi Dibsuwanto. Lalu, bapak dua anak itu membuka kunci pagar.

Setelah itu, ia pergi meninggalkan dengan pagar tidak tergembok. ”Saya langsung pergi ke sekolah buat mengajar,” tambahnya. Kecuali, pengunjung yang baru pertama datang ke kebunnya. Karena itu, ia harus memberikan kursus singkat kepada para pengunjung.


Dibsuwanto ketika memperlihatkan contoh jeruk yang bagus untuk dimakan.-Michael Fredy Yacob-

Ia tidak pernah merasa rugi dengan konsep yang diterapkan di kebunnya itu. Sebab, suami Sumilah tersebut tidak pernah menghitung modal awal. Untuk pembelian pupuk juga, ia hanya berpatokan pada uang yang ada di dalam tas.

”Ya kalau cukup, pasti langsung dibelikan pupuk. Saya tidak pernah memikirkan untung rugi. Jalan saja. Kalau ada buat makan, ya syukur. Kalau tidak, ya gak masalah,” katanya, lantas tertawa. 

Dijelaskan Dibsuwanto, kebunnya ditanami 200 pohon jeruk dengan dua jenis. Jeruk siam sekitar 150 pohon dan sisanya lemon california. Pendapatan paling banyak saat panen raya. Panen raya itu terjadi ketika 60 persen dari jumlah pohon panen bersamaan. Sehari, pendapatannya bisa mencapai Rp 1,5 juta–Rp 2 juta.

Panen raya terjadi dua kali dalam satu tahun. Pada April dan November. ”Satu pohon jeruk itu bisa menghasilkan sampai 50 kilogram,” jelasnya. Kebun itu ditanam sejak 2015. Konsep di atas sudah dilakukan empat tahun terakhir. Ketika panen pertama jeruk itu.

Konsep tersebut diberikan agar pengunjung yang datang bukan sebagai tamu. Melainkan pemilik. Dengan begitu, mereka punya tanggung jawab menjaga kebun. ”Kalau mereka tamu, kita harus terus melayani. Tapi, kalau pemilik, kan tidak perlu dilayani,” ucapnya.

Ia juga merupakan pelopor konsep yang akhirnya digunakan di dusunnya. Bahkan, se-Kota Batu. Konsep seperti itu rupanya dijadikan percontohan warga sekitar. Beberapa ladang jeruk dibangun di sekitar kebun milik Dibsuwanto. Mereka juga akan menjadikan daerah mereka tempat wisata.

Kini sudah enam hektare tanah warga yang dijadikan perkebunan. Ada yang ikut menanam jeruk. Ada yang menanam jagung. Ada pula yang menanam berbagai sayuran. ”Rencananya, kami menggunakan konsep yang sama. Tapi, kebun saya sebagai percontohan,” tuturnya. (*)

 

Baca edisi besok: Rumah Warga pun Disulap Jadi Penginapan. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: