Kursi Ketum Parpol

Kursi Ketum Parpol

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

HEBOH. Beredar vlog yang menayangkan Presiden Jokowi duduk menghadap Megawati. Juga, terlihat Puan Maharani dengan leluasa sedang membuat vlog di ruang kerja ketua umum PDIP yang tak lain ibunya itu.

Netizen fokus pada kursi yang diduduki Jokowi. Kursi kayu biasa. Sementara itu, Mega duduk di kursi kerjanya yang empuk dan besar. Kursi kebesaran sebagai ketua umum partai. Kesannya pun, Jokowi sedang menghadap Mega. Itulah yang bikin riuh...

Dalam vlog itu, Jokowi terlihat santai-santai saja. Netizen yang heboh. Tidak sedikit yang berkomentar: ada yang tidak pas dengan suasana seperti itu. Ada juga yang komen, kok presiden diperlakukan lebih rendah. Seharusnya, diterima di kursi lebih elegan, seperti duduk bersama di sofa.

Tapi, masih ada juga yang menilai Jokowi menunjukkan kesantunan karena kapasitasnya sebagai petugas partai. Sementara itu, Mega ketumnya.  Dianggap masih proporsional.

Dari vlog yang viral itu –lebih viral daripada acara rakernasnya– bisa dibaca bahwa Megawati begitu powerful di partainya. Dialah yang mengendalikan arah PDIP.

Jokowi memang satu-satunya presiden yang tidak mengendalikan parpol. Semua presiden sebelumnya mempunyai parpol. Paling tidak menjabat ketua umum.

Soekarno mendirikan PNI. Ia yang mengendalikan. Partai itulah yang mengawal kebijakan Bung Karno, yang saat itu situasi politik sangat bergejolak.

Presiden RI Kedua Soeharto, begitu berkuasa, langsung membentuk Golkar. Mampu menjadi mesin politik yang efektif. Soeharto bukan ketua umum, tetapi memimpin lembaga dewan pembina yang kekuasaannya paling tinggi. Semua kekuatan dikendalikan. Setiap pemilu selalu di angka 80 persen. Tentu dengan cara otoriter. Karena itu, Orba tak kenal yang namanya koalisi.

Habibie tak hanya mewarisi jabatan presiden, tapi juga mesin politik Golkar. Di awal reformasi itu, kekuatan Golkar sudah tergerus, tapi tetap sebagai salah satu kekuatan di parlemen. Kalau mau mempertahankan kekuasaan, Habibie bisa saja menggunakan Golkar untuk menghadapi lawan politiknya di parlemen. Namun, Habibie memilih tak mau maju lagi.

Gus Dur juga punya PKB yang memiliki massa militan. Megawati, presiden selanjutnya, punya PDIP. Sampai sekarang jadi ketua umum. Sudah 26 tahun.

SBY punya Demokrat. Partai itu didirikan menjelang SBY maju Pilpres 2004. Ia mendirikan parpol dulu sebelum nyalon. Seperti halnya Mega di PDIP, SBY sangat identik dengan Demokrat. Bukan sekadar pengurus, tetapi bisa ditafsirkan sebagai owner parpol.

Nah, Jokowi ini berbeda. Maju sebagai presiden diusung PDIP. Tentu tidak bisa langsung memerintah PDIP karena harus melewati ibu Ketum Megawati.

Bahkan, sering kali ditafsirkan pengamat dan publik, Jokowi dan Mega berbeda pendapat. Dalam penentuan capres sekarang ini pun, opini yang muncul ke permukaan mereka di jalan bercabang.

Dalam menjaga pemerintahannya, Jokowi sangat merawat koalisi besarnya. Tidak hanya bertumpu pada PDIP. Itulah yang memunculkan spekulasi kehadiran Koalisi Indonesia Baru (Golkar, PAN, PPP) sebagai sekoci calon yang diusung Jokowi.

Apakah Jokowi benar-benar ingin membangun kekuatan politik ke depan. Ini sesuatu yang penting. Sebab, anak dan menantu sudah terjun ke dunia politik.

Mereka harus punya kekuatan politik yang bisa dikendalikan sendiri. Kalau saat ini Gibran (wali kota Solo) dan Bobby Nasution (wali kota Medan) bisa langsung mendapat panggung besar, itu karena faktor Jokowi sebagai presiden.

Ke depan, harus ada kekuatan politik besar yang mendukung mereka. Jokowi tentu tidak selamanya jadi presiden.

Untuk tetap memiliki kekuatan besar itu, pilihannya ada dua. Pertama, menjadi ketua umum atau jabatan apa pun sebagai pengendali parpol yang sudah ada. Jokowi kader PDIP. Pengganti Mega? Yang harus diingat, Megawati juga punya kader: Puan Maharani dan Prananda Prabowo. PDIP juga dikenal sebagai partai trah Bung Karno.

Masih opsi pertama, katakan Jokowi terpilih jadi ketum partai lain (selain PDIP). Sebagai contoh Golkar, tentu lebih rumit lagi. Walaupun dalam dunia politik berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, tetap juga semuanya rumit dan penuh gejolak.

Opsi kedua, mendirikan partai politik sendiri. Seperti halnya SBY, Surya Paloh, atau Prabowo Subianto. Opsi itu bisa dibilang masuk akal karena Jokowi mempunyai pengikut yang besar. Massa yang fanatik. Berpotensi sebagai partai besar. Berbagai acara pro-Jokowi selalu membeludak. Terakhir di Pati yang menghadirkan Moeldoko. Saat konsolidasi di Magelang, Jokowi sendiri yang hadir.

Momentum terbaik partai baru, ya saat ini. Untuk mengikuti pemilu sekarang. Memang persiapan mepet, tapi dengan jaringan besar dan dukungan politik Jokowi, bisa saja terjadi.

Dengan mengendalikan parpol sendiri, Jokowi pun nanti tetap mempunyai akses formal di panggung politik nasional.

Juga, jadi modal politik orang terdekatnya, Gibran dan Bobby Nasution. Seperti AHY di Demokrat atau Puan di PDIP.

Dan tentu yang paling penting, akan memegang salah satu remote politik yang mengendalikan parlemen serta koalisi capres. Juga, duduk di kursi besar sebagai ketua umum partai. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: